Chapter 2 :
Biarkan aku mendengarmu memanggilku ‘sayang’
Setelah aku membereskan semua urusanku di dunia bawah,
Yanwang secara pribadi memberikanku tiga segel yang dia letakkan dibelakang
leherku, setiap segel mewakili satu siklus kehidupan didunia manusia. Bila
nanti ketiga segel ini sudah lenyap, maka aku harus kembali ke dunia bawah dan
tinggal di tepi sungai Wanchuan kembali.
Dibawah pandangan mata para roh lain yang iri, aku mengenakan
pakaian serba putih dan pergi ke dunia manusia.
Dunia manusia yang sebelumnya aku baca dari buku, secara langsung ternyata lebih berwarna dari
yang aku kira, dan lebih menarik, dan juga ... lebih berbahaya.
Pada hari ketiga aku dibumi, saat mencari keberadaan
Moxi, aku kebetulan melintasi sebuah kuil dan melihat bahwa kuil itu
diperuntukkan kepada Ksitigarbha Bodhisattva. Dengan perasaan hikmat aku masuk
ke dalam kuil, hendak berdoa. Baru saja aku menjatuhkan lututku untuk berdoa,
dan hendak membungkuk, datang seorang biksu tua yang sangat cekatan mendekatiku
dengan sebuah pisau cukur ditangannya. Dia tersenyum senang kepadaku: “Amitabha.
Hamba, menyadari segala kesalahan yang telah dilakukan dengan mencari penebusan
kepada sang Buddha adalah kebaikan bagi dunia.”
Huh? Aku belum memahami makna dibalik kalimat si biksu
ketika pisau cukurnya yang tajam diarahkan ke rambutku.
Aku ini sebuah batu – batu Sansheng. Dari kepala sampai
ujung kaki, hal yang paling sulit tumbuh adalah rambutku. Aku sudah menantinya
selama ribuan tahun hingga akhirnya melihat adanya perkembangan, namun begitu
biksu tua botak ini begitu berani hendak mencukur rambutku! Aku mendesah marah
dan menendangnya. Namun tak kuduga, biksu tua ini ternyata ahli bela diri.
Dengan mudah dia menghindari tendanganku.
Senyumnya hilang dari wajahnya. “Apa yang ingin kau
lakukan?”
“Botak, aku yang harusnya menanyakan pertanyaan itu,” aku
menimpali dengan curiga.
Dia mencibir. “Iblis, aku kira kau mau mengikuti ajaran
Buddha untuk menebus dosa-dosamu. Ternyata kau datang kesini untuk menimbulkan
masalah!”
“Iblis? Kau salah, aku tidak ...”
“Hmph, aku mencium bau amis kejahatan yang pekat
disekelilingmu sepanjang tiga mil jauhnya. Jangan coba-coba kabur dari sini.”
Aku mencoba mencium kanan dan kiri, namun tidak begitu
yakin ada bau amis ditubuhku. Ikan-ikan disungai Wangchuan jauh lebih amis dari
diriku! Biksu ini tidak mendengarkan penjelasanku. Pisaunya diarahkan lagi
kepadaku. Nafsu membunuhku mulai bangkit, namun peringatan Yanwang agar aku
tidak melukai siapa pun terngiang ditelingaku.
Aku menahan serangan, berbalik arah, dan berlari kabur.
Biksu itu terus mengejarku ‘mengitari gunung, memaksaku
untuk berlari sampai aku kehabisan nafas. Ingin sekali rasanya aku meninju si
biksu botak dan mengirimkannya ke alam tidur yang panjang.
Sekonyong-konyong, seberkas aroma wangi menusuk hidungku.
Aku tak pernah menghirup wangi seharum ini di dunia bawah. Perhatianku segera
teralih. Saat aku semakin mendekati sumber wangi itu, lautan bunga berwarna
merah tersebar didepan mataku.
Manusia menyebut musim ini dengan nama ‘musim dingin’,
dan mereka menamai lapisan berkilau yang menyelimuti permukaan bumi dengan
kelopak berwarna merah ‘salju’. Namun pada saat itu aku belum tau apa nama
bunga berwarna merah itu. Setelah aku melewati lautan wewangian itu, aku
menemukan sebuah pekarangan kecil yang sepi disalah satu sisi.
Penasaran, aku membuka gerbang dan masuk ke dalam. Baru
saja aku melangkahkan kaki masuk ke dalam pekarangan, segel keemasan yang
diletakkan Moxi dipergelangan tanganku tiba-tiba berpendar. Jantungku berdegup
semakin kencang selagi aku mendekati rumah utama didalam pekarangan. Tiba-tiba,
aku mendengar sura lembut seorang wanita dari dalam rumah: “Hush-a-by baby, dipuncak pohon, ketika
angin berhembus, buaian akan bergoyang.”
Dengan lembut aku mendorong pintu dan mengintip ke dalam.
Seorang perempuan muda sedang duduk di atas tempat tidur dengan seorang bayi
dalam pelukannya. Melihat lebih dekat, aku tersenyum. Wajah itu, hidung itu,
dan bibir itu, bukankah ini versi chubby
Moxi?”
Pada akhirnya aku tak perlu mengerahkan banyak usaha!
Namun Moxi hanyalah bayi yang chubby untuk saat ini. Dia sudah lupa kehidupan masa lalunya dan
belum bisa mengenal orang lain. Bagaimana caraku untuk merayunya? Atau, apakah
aku harus mendampinginya dan menjadi pelindungnya sampai nanti dia dewasa?
Sudah jelas aku tidak akan membiarkan perempuan, atau laki-laki lain yang akan
datang merayunya, untuk mengambil kesempatan selagi dia masih muda.
Suara teriakan keras tiba-tiba terdengar dari arah
belakang dan membuyarkan lamunanku: “Iblis, kau mau kabur kemana lagi?!”
Terkejut, aku dengan sigap berguling ke kiri, mendobrak
pintu, dan masuk ke dalam rumah. Pisau si biksu berkelebat selagi aku memandang
segenggam rambut jatuh dari depan wajahku.
Dengan pasrah aku tergeletak diatas lantai, terpana
melihat sejuntai rambut berwarna hitam melambai didepanku.
“Ah!”
Teriakan seorang perempuan terdengar namun seolah-olah
teriakan itu datangnya dari tempat yang jauh sekali, dan nasehat Yanwang
terngiang jauh diatas awan.
Aku melompat, memusatkan kekuatan gaibku ditelapak
tangan, dan dengan kegelapan sungai Wangchuan selama ribuan tahun, aku
mengarahkan serangan ke biksu botak itu. Serangan ini sudah jelas akan
menghancurkan kepala dan otak si biksu, namun kewarasanku tiba-tiba kembali
ketika aku mendengar tangisan si bayi.
Serangan dari telapak tanganku melenceng kesalah satu
sisi dan menghantam bagian pintu, menimbulkan getaran hebat ke seluruh gubuk. Aku
melompat ke luar rumah. Kelihatannya seranganku cukup membuat keledai tua itu
kembali ke akal sehatnya. Dia memandangku, dan melirik Moxi yang chubby dan akhirnya berdiri dihadapan
perempuan yang sedang ketakutan dan berkata kepadanya: “Titik merah di kening
anakmu mengundang hal-hal buruk. Dia sudah menarik perhatian iblis sedemikian
rupa meskipun dia baru lahir. Dia pasti akan mendatangkan kutukan bagi siapa
pun yang berada didekatnya.”
Perempuan itu sangat ketakutan mendengar kata-kata si
biksu. Dia menggendong bayinya, tak tahu harus berbuat apa.
Aku marah sekali. “Hei botak, tutup mulutmu!” Kaum
manusia percaya sekali dengan ramalan dari kaum pendeta dan biksu. Dia akan
menghancurkan masa depan Moxi dengan kata-katanya.
“Hmph! Biadab, kau menyergapku saat aku lengah. Aku akan
memberikanmu pelajaran kali ini!”
Pisau ditangannya mengeluarkan sinar keemasan dan berubah
menjadi tameng Buddha dan segera mengarah kepadaku. Biksu ini tidak memiliki
kekuatan gaib yang cukup besar, namun tameng Buddha ditangannya menghalangiku
untuk melihat arah. Yang kami sangat takuti di dunia bawah adalah tameng Buddha
dari surga barat. Kelabakan, aku terpaksa untuk mundur.
Aku tak pernah menyangka pertempuran antara aku dan si
biksu akan berlangsung begitu lama. Aku adalah sebuah batu – kesabaran adalah
keunggulanku. Aku percaya bila pertempuran kami pada akhirnya membuatnya lelah,
maka dia akan mundur. Bila saat itu tiba, aku akan kembali untuk tinggal
bersama Moxi sampai dia dewasa. Aku tidak menduga bahwa biksu manusia ini
begitu keras kepala. Membasmi iblis adalah tujuan hidupnya, dan mungkin akulah
‘monster’ yang paling kuat yang pernah dia hadapi semasa hidupnya, dia
menjadikan misi untuk membunuhku adalah tujuan hidupnya.
Pertempuran kami berlangsung selama sembilan tahun penuh
di dunia manusia.
Sembilan tahun!
Pada akhirnya, bukan karena dia menyerah untuk
membunuhku, namun karena temanku dari dunia bawah, prajurit hitam dan putih,
datang untuk mencabut nyawanya ...
Aku sedan bersembunyi dengan susah payah di dalam
pegunungan ketika aku bertemu teman-temanku. Ketika aku melihat mereka menyeret
roh si keledai tua pergi, aku memeluk lidah panjang mereka yang terjuntai
sangat lama dengan hati bahagia. Di saat yang sama, aku meyakinkan mereka untuk
meminta si tua Meng untuk memberikan sup ekstra kepada si biksu agar dia lahir
menjadi bodoh dan sengsara dikehidupannya yang akan datang.
Setelah menyelesaikan urusanku dengan si biksu, aku
memoles penampilanku disana-sini yang tak pernah aku perhatikan selama sembilan
tahun. Kemudian, berjalan ribuan mil melalui gunung dan lembah, aku menemukan pekarangan
kecil tempat aku melihat Moxi dimasa yang lalu.
Setelah sembilan tahun hidup di dunia manusia, aku
akhirnya tau bahwa bunga merah yang wangi itu dinamakan bunga ceri.
Namun demikian, aku tidak mengerti mengapa dalam waktu
sembilan tahun saja hutan ceri yang dulunya begitu indah sekarang menjadi layu
dan mati.
Perlahan-lahan aku mendekati pekarangan kecil itu dan
segel dipergelangan tanganku berpendar lagi. Aku bahkan belum menginjakkan
kakiku ke dalam gerbang ketika aku melihat seorang anak laki-laki berpenampilan
kotor sedang menyapu halaman yang gersang. Suara desiran sapu terdengar sangat
suram.
Anak itu nampaknya menyadari ada seseorang yang masuk
kepekarangan. Dia segera membalikkan badan.
Apa yang aku lihat adalah sepasang mata yang jernih dan
sebuah titik merah terdapat persis ditengah keningnya. Hatiku menciut, tanganku
bergetar, dan gula-gula yang aku beli untuk Moxi jatuh ketanah.
“Siapa kau?” tanyanya sambil berjalan mendekatiku.
Aku berjongkok agar pandanganku sejajar denganya dan aku
melihat bayanganku di dalam matanya yang bening. Aku menggosok kotoran
diwajahnya dengan lengan jubahku dan berkata kepadanya, “Namaku Sansheng. Aku
datang untuk merayumu.”
Dia menatapku tanpa mengucapkan sepatah kata,
membiarkanku membersihkan wajahnya dengan lengan bajuku. Aku melihat bajunya yang
usang dan memar dilengan dan lehernya. Aku mengenang bahwa ibunya tidak terlalu
kekurangan sembilan tahun yang lalu. Bagaimana dia bisa membiarkan Moxi jadi
terlihat seperti ini?
“Dimana ibumu?” aku bertanya padanya.
“Mati.”
Jawabannya yang tanpa basa-basi mengagetkanku. Bukankah
kaum manusia selalu mempermasalahkan hidup dan mati dengan serius? dia...
mungkin masih terlalu muda untuk paham soal hidup dan mati. Penjelasan itu yang
paling masuk akal bagiku ketika itu.
“Karena ibumu sudah meninggal, segalanya terserah padamu
sekarang. Ingatlah, bahwa hari ini, aku telah berhasil merayumu.”
Dia tetap diam selagi mengamatiku. Aku menggaruk
kepalaku; bicara dengan seorang anak kecil terbukti cukup sulit. Ditambah lagi,
anak yang bersangkutan adalah tipe anak yang pemalu dan pendiam. Aku memutuskan
untuk menggunakan bahasa yang lebih sederhana.
“Dengan kata lain, aku istrimu mulai saat ini. Sesuai
dengan peraturan didunia manusia, aku pengantin kecilmu. Tapi ini bukan hal
penting. Yang paling penting adalah tidak ada yang akan mengganggumu karena aku
sekarang ada disini.” Matanya bersinar senang. Aku menepuk kepalanya: “coba aku
dengar kau memanggilku ‘sayang’.”
Dia terdiam sejenak. “Sansheng,” dia mengulang namaku.
“yang benar itu ‘sayang’.”
“Sansheng.”
“Sayang!”
“Sansheng.”
“... baiklah,” aku menyerah. “Panggil aku Sansheng saja.”
“Sansheng.”
“Ya?”
Aku akan mengenang saat dia memanggilku namaku lagi dan
lagi pada hari itu, memanggil namaku sampai aku menjawabnya. Lama kemudian, aku
juga mendengarnya memangil ibunya lagi dan lagi meskipun tidak ada jawaban.
Moxi adalah dewa perang dari surga. Meskipun dia sedang
berada didunia manusia untuk ujian kehidupan, dia harusnya tetap bersikap
beradab dan berbudaya, karenanya aku berpikir untuk menyekolahkannya.
Tidak jauh dari tempat kami tinggal ada sebuah kota
kecil. Hanya ada satu sekolah dikota ini. Guru disekolah ini tau ramalan si
biksu bahwa Moxi akan tumbuh membawa kutukan bagi semua yang ada didekatnya,
sehingga mereka merasa keberatan menerima Moxi.
Aku meminta Moxi untuk berkeliling sekolah dengan
sekantung emas ditanganya. Pada akhirnya, guru-guru menerimanya masuk.
Aku membantu mengikat rambutnya dihari pertamanya
sekolah. Dia memandangku melalui pantulan kaca perunggu; dimatanya terdapat
secercah keraguan. Dengan lembut aku berkata kepadanya, “kau akan hidup dialam
manusia ini untuk beberapa dekade. Ini bukan waktu yang panjang; aku akan
memastikan hidupmu aman dan damai. Tapi aku berharap kau akan menjadi pria yang
bertanggung-jawab dan hidup dengan terhormat selama beberapa dekade ke depan. Melek
huruf adalah keharusan. Dengarkan gurumu saat disekolah. Meskipun aku tidak
akan menyebut mereka kaum suci, mereka pasti akan menjaga sikap mereka di depan
murid-murid mereka. Belajarlah yang giat!”
Moxi mengangguk.
Ketika dia pulang di sore harinya, ada bebarapa luka
diwajahnya. Lebam merah disini, dan lebam biru disana. “Apakah kau dihajar
disekolah?” aku bertanya.
Dia mengangguk.
“Apakah kau melawan balik?”
Dia menggeleng kepalanya.
Si gendut Wang adalah anak tuan tanah dikota ini.
Keluarganya sangat kaya, bahkan halaman belakang rumah mereka begitu luas. Aku
melihatnya dengan perasaan senang. Setelah aku menyulut kebakaran digudang kayu
mereka, angin selatan tiba-tiba berhembus dan menjadikan api semakin besar
sehingga kebakaran hebat terjadi. Setengah langit menjadi merah.
Melihat pemandangan yang cukup mengesankan, aku membawa
Moxi ke tempat yang nyaman untuk melihat-lihat dan menunjuk ke arah api yang
berkobar dari arah rumah si gendut Wang selagi aku berkata kepadanya,
“Tertawalah sesukamu.”
Moxi memandangku nampak berpikir, “Sansheng, guruku
bilang kita harus membalas kejahatan dengan kebaikan.”
“Moxi, kau harus belajar membedakan. Gurumu jelas-jelas
berbohong. Memang bagus untuk mendengarkan, namun tidak semuanya bisa
dimasukkan ke hati.”Moxi mendengar kata-kataku, dan dengan perlahan
mengeluarkan bunyi ‘hahaha’.
Kehidupan di alam manusia berlalu dalam sekejap mata.
Tanpa terasa Moxi melalui usia dua puluhan tahun.
Dibawah didikanku yang penuh perhatian, tidaklah
mengherankan bahwa Moxi tumbuh menjadi pria sejati yang berwibawa. Wajah dan
tubuhnya tidak jauh berbeda dengan Moxi yang aku temui saat di dunia bawah.
Karena penampilannya yang tidak biasa di dunia manusia, ditambah dengan
kecerdasannya, dengan segera Moxi menjadi terkenal dikota kecil ini.
Namun, “ Nama baik membunuh orang, rengekan membunuh
babi.” Pasti ada alasan mengapa pepatah ini bisa bertahan lama.
Pagi itu cuaca cerah dan nyaman ketika aku berbaring
santai diatas dipan sambil membaca novel terbaru. Novel itu berisi kisah
tentang sepasang kekasih yang telah melalui berbagai ujian cinta lengkap dengan
bagian ooh ooh ah ah. Aku sedang
membaca tepat dibagian klimaks novel ketika Moxi pulang. Dia memungut jubah dan
mantel yang dengan sembarangan aku lemparkan ke lantai, memberikanku segelas
air, dan dia berkata, “Tidak baik untuk berbaring sepanjang hari. Kau juga
sebaiknya keluar untuk mendapatkan sinar matahari, Sansheng.”
Aku menerima gelas air dari tangannya. Mataku tidak
beralih dari buku yang kupegang dan aku menjawab dengan santai, “Sinar matahari
seperti racun untukku. Tidak ada manfaatnya.”
Namun dia tak mendengarkanku. “Pagi ini turun salju. Bunga
ceri dihalaman kita mekar dengan indah. Ayo kita jalan bersama untuk
melihat-lihat.” Aku memandangnya dan melihat secercah sinar pengharapan
dimatanya. Aku meletakkan buku yang sudah sampai pada bagian ooh ooh ah ah: “Baiklah, aku akan
menemanimu berkeliling.”
Merasa senang, dengan lembut dia tersenyum.
Kami berpegangan tangan dan berjalan-jalan disepanjang
hutan ceri. Dia tidak berbohong. Bunga ceri mekar dengan begitu indahnya hari
ini.
“Moxi, kau tau aku menyukai pemandangan bunga ceri ini
yang indah dan aromanya yang wangi saat turun salju, kau tau kenapa?”
Dia berpikir sejenak. “Mungkin karena sifatmu sama
seperti bunga ceri ini.” Aku berhenti berjalan dan menatap matanya sambil
menggelengkan kepala, tersenyum tanpa kata.
Dia tak mengerti, namun dia membiarkan memandang
wajahnya. Perlahan, seberkas senyum tersungging dibibirnya, “Sansheng, kau suka
memandangiku?”
“Ya.” Aku menggunakan tanganku untuk mengukur tingginya. Dia
sekarang lebih tinggi satu kepala dariku. Aku memiringkan kepala: “Moxi,
biarkan aku mendengarmu memanggilku ‘sayang’.”
Cuping telinganya tiba-tiba memerah.
“kau dengan cepat mencapai usia dewasa.” Aku berkata. “aku
pikir pengantin kecil ini sudah saatnya naik pangkat setelah bertahun-tahun. Pilih
saja hari baik dan nikahi aku, bagaimana menurutmu?”
Semu merah menyebar dari telinga sampai pipinya, jakunnya
bergerak-gerak. Setelah beberapa lama, seberkas kilatan ------ dimatanya. “Sansheng,
kau, kau selalu...” Belum lagi kalimatnya selesai tiba-tiba sebuah suara
terdengar dari dalam hutan ceri.
Sejak Moxi cukup terkenal, ada saja orang yang ingin
bertemu dengannya. Aku tidak pernah melarangnya, tapi mereka mengganggu
percakapan tentang pernikahan kami hari ini. Air wajahku berubah. Aku merasa
tidak suka.
Suara-suara itu semakin kuat. Moxi akhirnya menyerah. “Sansheng,
sepertinya ada orang yang mencariku, mari kita pulang ke rumah.”
Aku menggumamkan jawaban dan kembali ke kamarku,
melanjutkan membaca buku. Moxi pergi ke ruang tamu untuk menemui tamunya.
Mendekati siang hari, Moxi mengantar tamu keluar rumah
dan kembali ke kamarku. Dia duduk tanpa bicara. Aku bersandar dikursi dan juga
diam tak bicara; kesabaranku memang selalu bisa diandalkan. Dia akhirnya tak
bisa menang dariku.
“Sansheng.”
“Hmm?”
“Itu tadi gubernur.”
“Oh.”
“Dia... dia memintaku untuk ke Ibukota untuk menjadi
pejabat pemerintahan.”
“Oh.”
Mungkin sikapku yang membuat Moxi sedikit bingung. Dengan
cemas dia mengamati wajahku. Melihat dia sudah menetapkan keputusan, dia
berkata, “Aku menerimanya.”
Dalam diam aku membalik halaman terakhir buku yang sedang
kubaca. Kisah cinta di dalam buku berakhir bahagia. Kemudian aku memalingkan
pandanganku dan menatap Moxi. Dengan serius dia memandangiku. Aku menghela
nafas, “Seorang pria memang sudah sepantasnya punya ambisi. Kau ingin menjadi
pejabat, bukan pencuri ... meskipun pada dasarnya tidak ada bedanya. Tapi aku
mengakui bahwa lembaga kerajaan adalah tempat yang bagus untuk mewujudkan
ambisimu. Aku selalu berharap kau sukses dalam hidupmu. Sekarang kau memiliki
kemampuan dan kesempatan, kau harus memberanikan diri dan pergi. Mengapa kau
memandangiku?”
Moxi menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin menjadi
pejabat karena ambisi...” Pipinya memerah. “Seperti yang telah kau katakan,
usiaku hampir dua puluh dua tahun. Aku, aku selalu berniat membicarakan
pernikahan denganmu suatu hari nanti.”
Aku terpaku sambil memegang cangkirku.
Senyumnya nampak putus asa. “Tapi Sansheng, kau selalu
selangkah lebih cepat dari aku.” Dia menambahkan, “Aku mau memiliki keluarga
bersamamu, namun sebagai seorang pria, aku tidak bisa membiarkanmu mengurusku
selamanya. Aku ingin memberikanmu kebahagiaan dengan mengandalkan usahaku.”
“Sansheng, maukah kau menunggu dua tahun untukku? Setelah
aku sukses, aku akan kembali untuk menikahimu.”
Aku tak mungkin menjawab ‘tidak’.
Pada saat itu, aku berharap aku hanyalah perempuan biasa.
Aku bermimpi menantikannya pulang dan memanggil namaku ‘Sansheng’ dari balik
pintu.
Namun, dia ingin aku menunggunya selama dua tahun. Pada dasarnya
aku adalah batu yang sangat sabar, namun saat ini sepertinya aku tak mampu. Setelah
sepanjang malam tidur dengan resah, aku bangkit dn duduk diatas tempat tidurku.
“Moxi.”
Aku tau dia tak ada disini, namun aku ingin sekali
menyebut namanya, seolah dia akan segera muncul didepanku bila aku memanggil
namanya.
“Moxi.”
Aku memanggil namanya tiga kali, namun tidak ada jawaban
yang kudengar selain angin yang berhembus dari luar rumah. Aku tak bisa
memejamkan mata lagi, aku turun dari tempat tidur, tanpa mengepak apa-apa, aku
pergi meninggalkan rumah dengan hanya jubah putih yang menempel ditubuhku aku
pergi ke Ibukota untuk mencari suamiku.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sedikit mau share dengan teman-teman, terkadang dalam menerjemahkan sebuah novel, apalagi novel yang disadur dari negeri yang berbeda, tentu saja ada beberapa istilah maupun idiom yang sulit untuk aku terjemahkan atau mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. belum lagi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. memadankan dalam bahasa Indonesia saja sudah sulit apalagi mencari maknanya, kalau sudah begini aku nyerah deh, hanya bisa meraba-raba saja maksudnya apa.
soalnya kalau dipikir-pikir, aku udah orang kedua yang menerjemahkan (Cina-Inggris-Indonesia), hanya berharap bahwa translator yang menginggriskan sudah memadankan dengan bahasa yang teapt sehingga giliran di Indonesiakan bisa lebih masuk akal.
kebanyakan cerita yang aku terjemahkan adalah ancient novel, selain istilah dan peribahasa, muncul algi permasalahan dengan kisah mitologi negeri tirai bambu. bagi pembaca novel yang belum terbiasa pasti sedikit bingung.
contoh saja dalam cerita Sansheng ini, ada disebutkan Si Meng Tua dan supnya, jadi dalam mitologi cina itu, setiap mahkluk hidup akan menaglamai siklus yang namanya reinkarnasi[, setelah mereka mati, mereka akan dibawa ke dunia akhirat untuk minum sup agar kita bisa melupakan kehidupan kita yang sebelumnya dan kembali ke dunia dengan hidup baru dan memulai siklus berikutnya (atau begitulah kira-kira).
berdasarkan pengalaman, semakin kita terbiasa dengan kisah-kisah dari negeri asal novel, maka semakin mudah kita memahami jalan ceritanya.
suatu hari nanti, aku juga berniat untuk menerjemahkan novel modern, untuk yang satu ini kita lihat saja nanti ya ;-)
salam
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment