Sunday 23 July 2017

Chapter 3 - Tuan Muda -- PRODIGAL SON

Chapter 3 - Tuan muda kami dibully

Sejak saat itu, aku menemukan cara untuk memberi obat dan memberi makan Tuan muda. Sesuatu yang layak dibanggakan dan dirayakan. Setelah itu, Tuan muda berhenti menghardikku dan bersikap seolah aku tidak ada. Setiap hari, dia berbaring dalam posisi sama, mata terbuka menatap ke langit-langit rumah. Dia makan, minum, buang air besar dan buang air kecil ditempat tidur. Bicara soal makan, minum, buang air besar dan buang air kecil, aku menderita untuk dua hal pertama dan Tuan muda menderita untuk dua hal kedua.

Sebab dia tidak bisa turun dari tempat tidur, aku harus masuk kamar dan membantunya dalam jangka tertentu. Untuk buang air kecil, Tuan muda pura-pura kalau ia ikan mati. Aku hanya perlu memegang pot urin pada posisi yang tepat. Namun buang air besar seolah mencabut nyawanya. Aku harus mendudukkannya. Meski aku bilang duduk, namun kenyataannya lebih kepada menopang pantat dan menempatkannya diatas wadah kotoran. Karena kaki kanan Tuan muda tidak bersisa sama sekali, bergerak sedikit saja akan menyentuh luka. Namun untuk buang air besar, tidak bisa menggunakan kekuatan karena bila mengedan paksa maka dua bagian kaki yang cedera akan sama sama sakit. Setiap kali Tuan muda bab, terdengar suara seperti 'heng heng ah ah duo duo suo suo' (suara kesakitan dan mengedan). Kotoran, air kecil, keringat dingin dan air mata -- suasana didalam rumah buruk seburuk buruknya.

Namun hari-hari tetap berjalan.

Setelah sebulan, luka Tuan muda semakin membaik. Tuan muda pertama dan Yuan Sheng belum kembali namun keadaan keauangan dirumah mulai meresahkan. Aku berjongkok dihalaman dan sedang berpikir, kalau tidak ada uang dihasilkan, dalam tempo empat atau lima hari maka Tuan muda tidak akan bisa makan bubur lagi. Disebabkan hal itu, aku memutuskan untuk membuat sesuatu yang bisa dijual. Apa yang harus aku jual? Setelah berpikir beberapa saat, aku memutuskan untuk membuat kerajinan tangan. Jangan hanya melihat penampilan monyetku, aku sebenarnya memiliki sepasang tangan yang mahir. Di siang hari, setelah aku mengurusi keperluan Tuan muda, aku akan berlari ke padang rumput diluar kota dan memetik bunga dan tanaman merambat. Kemudian, aku kembali kerumah dan membuat mahkota bunga untuk hiasan rambut, kalung dan gelang.

Saat ini memang bertepatan dengan musim semi. Setiap hari, pria muda akan mengajak kekasihnya untuk bermain keluar kota jadi aku berdiri digerbang kota untuk menjual hasil tanganku. Cukup banyak yang aku jual. Hanya sedikit melelahkan. Karena bunga dan hiasan rambat akan layu dalam semalam padahal untuk terlihat bagus haruslah dalam keadaan segar, aku harus berlari keluar setiap hari. Akan tetapi, rasanya menyenangkan karena aku bisa mendapatkan uang, aku tak bisa membiarkan Tuan muda mati kelaparan.

Aku sedang memberikan makan Tuan muda ketika Tuan muda berkata tiba-tiba, "Buka jendela." Aku cepat-cepat membukanya. Sudah musim semi, cuaca cerah dan berangin, burung burung berkicau, dimana mana penuh dengan kehidupan dan vitalitas. Aku memandang keluar dan sejenak, aku merasa santai. Tuan muda bicara dengan suara yang pelan, "Tutuplah." Aku bersumpah tidak mendengar suaranya saat ia pertama bilang. Tuan muda menganggap mungkin aku dengan sengaja mengabaikannya sehingga dia berteriak, "Aku perintahkan kau untuk menutupnya!" Aku terkejut dan menoleh. Aku melihat Tuan muda telah memalingkan kepalanya, setengah bersembunyi dibalik selimut.

Tiba-tiba -- pada saat itu, aku merasa Tuan muda sangat menyedihkan. Aku tidak tau darimana aku mendapatkan keberanian tapi aku mengatakan kepada Tuan muda, "Mari aku bawa kau keluar untuk melihat-lihat." Tuan muda mengabaikanku. Aku berjalan mendekat dan memegang bahu Tuan muda, Tuan muda menghempaskan bahunya. "Jangan sentuh aku!" Ketika itu, aku benar benar kerasukan, aku tidak mendengar Tuan muda dan menarik dan mendudukkannya. Luka Tuan muda hampir sepenuhnya sembuh namun dia tidak biasa bangkit. Untuk bangkit secara mendadak, dia akan merasa pusing dan kaget. Memanfaatkan rasa pusingnya, dengan mengerahkan tangan dan kakiku, aku memindahkannya ke atas kursi kayu. Saat Tuan muda memperoleh kembali kesadarannya, dia sudah berada diatas kursi. Saat dia akan menumpahkan amarahnya, dia melihat ke arah benda disampingnya.
Hiasan kepala dari bunga yang aku siapkan untuk dijual. Tuan muda bertanya, "Apa ini ?" Aku menjawab dengan jujur. Tuan muda berhenti bicara. Aku rasa Tuan muda merasa malu dengan benda itu, tapi aku tidak punya cara yang lebih baik. Melihat Tuan muda tidak melepaskan amarahnya, aku mendorongnya keluar rumah. Lagipula, setelah terkurung didalam rumah dalam waktu yang lama, sangat bagus untuk menikmati  sedikit sinar matahari. Ketika aku menjual barang, Tuan muda beristirahat diatas kursi roda.

Sebenarnya, pada awalnya semua berjalan dengan baik. Namun tiba-tiba datang sekelompok orang yang dengan sengaja mencari masalah. Aku sangat frustasi, mengapa mereka tidak bisa mencari gara-gara dilain hari? Mengapa datang disaat Tuan muda ada? Baru kemudian aku tau bahwa orang-orang ini mengenal Tuan muda. Ketika Tuan muda dengan bangganya berpetualang di HangZhou sebelum cedera, banyak orang yang tidak menyukainya. Sekarang dia sudah jatuh, mereka datang membalas dendam.

Sekelompok orang itu mengelilingi kursi kayu. Meskipun bibir mereka melontarkan kata-kata menghibur, aku bisa melihat mereka mencari kesenangan di atas derita orang lain. Khususnya, si pemimpin, dia cukup tampan dan berpakaian bagus, namun aku tidak tau mengapa pandangannya sangat beracun. Tuan muda tidak bicara, dan tidak bergerak, dia hanya diam disana. Meskipun dia tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, aku tau dia sangat tidak nyaman dan pasti rasanya ingin mati saja. Bagian tubuh bawah Tuan muda kututupi dengan selimut karena aku takut ia terkena angin dingin dan terkena flu. Kepala kelompok membuka selimut itu, ketika semua orang melihat bagian bawah Tuan muda, mereka tertegun. Kemudian, mereka tertawa terbahak-bahak. Di saat itu, aku meledak.

Aku tak memedulikan apapun, aku memungut batang pohon dari pinggir jalan, berteriak dan memukul kepala si pemimpin. Dia tidak menduganya dan aku memukulnya telak. Mereka mungkin tidak mengira seorang pelayan akan berani melakukan hal seperti itu, bahkan Tuan muda juga melihatnya. Orang yang kena pukul terkejut sesaat. Ketika dia sadar, dia melambaikan tangannya dan teman brengseknya yang lain mulai memukuliku dengan keras. Aku melindungi kepalaku dan menggelung tubuhku seperti bola, menggigit bibirku untuk menahan sakit. Mengapa memukulku begitu keras? Apakah ada artinya? Kemudian, setelah mereka lelah memukuliku, mereka memutuskan pergi. Aku beristirahat sebentar sebelum berdiri. Pada pandangan pertama, aku melihat wajah tanpa ekspresi Tuan muda, dan sepasang mata yang sangat sangat gelap.
Aku berpikir, aku pasti telah membuatnya kehilangan muka lagi. Setelah perkelahian ini, semua kerajinan tanganku juga ikut rusak berantakan dan sudah tidak bisa dijual lagi, jadi kami hanya bisa pulang. Dijalan kembali pulang, Tuan muda tidak bicara sepatah kata pun. Aku merasa sedikit menyesal telah membawanya keluar.

Meskipun terbaring di rumah membosankan, paling tidak lebih baik ketimbang menghadapi sifat kasar orang lain. Di malam hari saat makan, Tuan muda secara mengejutkan memintaku untuk membantunya duduk. Kau harus tau bahwa sebelumnya dia makan dengan setengah berbaring. Setelah aku membantunya duduk, Tuan muda menatapku. Aku tau pasti wajahku sekarang sangat mengerikan maka aku menundukkan kepalaku. Tuan muda berkata, "Angkat kepalamu." Aku melihatnya dengan mataku yang bengkak. Setelah melihatku cukup lama, Tuan muda bertanya, "Siapa kau?"

Aku terkejut. Dalam hatiku aku curiga, Tuan muda jangan bilang kau menjadi bodoh karena dibuat marah oleh orang - orang itu? Dengan ragu bimbang aku menjawab, "Tuan ... Tuan muda."
Tuan muda mengerutkan dahinya dan bertanya, "Apakah kau pelayan yang dibeli oleh Tuan muda pertama?"

Aku kemudian sadar bahwa dia tidak bodoh, akulah yang bodoh. Aku menarik nafas dalam-dalam dan berkata, "Tuan muda, pelayanmu yang rendah ini adalah pelayan dari Graha Yang."
Setelah selesai berbicara, aku menambahkan, "Aku aslinya adalah pelayan dari pavilion Tuan muda."
Tuan muda bahkan tanpa berpikir berkata, "Tak mungkin."

Aku terdiam.

Aku tau kata berikutnya yang dia tahan dimulutnya namun dia tak katakan -- pavilionku tidak mungkin punya pelayan dengan wajah seperti ini.

Jadi aku menarik nafas lagi dan menjelaskan bagaimana aku bisa dikirim ke pavilionnya. Setelah mendengarkan, Tuan muda tidak bicara untuk waktu yang lama. Setelah beberapa saat, dia bertanya, "Mengapa kau tidak pergi?"

Aku diam, ya, mengapa aku tidak pergi. Sebelum aku berpikir bagaimana menjawab dengan benar, Tuan muda sudah bicara lagi, "Tak apa-apa, berikan aku nasinya." Aku menyodorkan mangkuk nasi kepadanya. Tuan muda bersandar ke dinding dan mulai makan sendiri. Aku masih berdiri sambil terheran-heran.
Dia duduk dengan susah payah. Kapan pun tubuhnya miring, dia akan menopangkan tangannya agar tegak kembali. Makan malam kali ini, aku tidak menggunakan tanganku sama sekali. Setelah selesai, aku akan pergi mencuci mangkuk namun dia menahanku. "Duduk." Aku duduk.

"Apa nama panggilanmu?

"Monyet."

"......."

Tuan muda melihatku dengan ekspresi bingung, "Apa nama panggilanmu?"

Aku menjawab, "Pelayanmu ini dipanggil Monyet."

Ekspresi Tuan muda seperti dia baru saja tersedak nasi. Kemudian dia berkata, "Monyet, berapa sisa uang yang ada?"

Aku bilang, "dua ratus tael."

"......"

Aku mengira angka ini adalah sesuatu yang Tuan muda tidak bisa terima dan aku baru mau menghiburnya dengan mengatakan bahwa Tuan muda pertama sedang berdagang diluar sana. Tapi, siapa tau Tuan muda malah berkata, "cukup."

"?"

Tapi Tuan muda tidak mengatakan apa-apa lagi dan bertanya kepadaku berapa banyak hasil penjualanku setiap hari.

Aku berkata, "Sekitar lima koin." Alis Tuan muda dengan segera bertaut, "Kau jual berapa?" Aku mengulang jawabanku lagi.

Dia berkata, "Besok setelah kau selesai menyiapkan dagangan, jangan menjualnya."

Aku tidak tau apa yang ada dalam pikiran Tuan muda namun aku mengangguk. Setelah berbincang, Tuan muda menyuruhku untuk membawa masuk karpet rumput dari luar. Setelah meletakkan karpet didalam rumah, Tuan muda memintaku untuk meletakkannya diatas tanah. Aku menuruti permintaannya. Setelah selesai, dia memintaku untuk pergi. Aku pergi ke dapur untuk mencuci mangkuk dan berpikir Tuan muda sedikit aneh malam ini. Setelah selesai mencuci piring, aku pergi kehalaman dan mendengar suara dari kamar Tuan muda. Namun karena dia tidak memanggilku, aku tidak berani masuk. Aku duduk di luar rumah sambil mendengarkan, dan mendengar suara ‘pu dong pu dong’ (suara jatuh) berulang kali. Aku bertahan dan bertahan, sampai aku tidak bisa bertahan lagi dan bersandar ke jendela untuk mengintip melalui celah.

Aku terkejut. Aku tidak tau sejak kapan Tuan muda jatuh dari tempat tidur. Dia berbaring diatas lantai dan kelihatannya dia berjuang untuk bangkit. Ketika aku masuk, Tuan muda kelihatannya kaget dan dia membelalak dari arah lantai, “Siapa yang mengijinkanmu masuk?!”
Aku berkata, “Biarkan aku pelayanmu membantu Tuan muda.”

“Keluar!”

Aku masih ragu ketika Tuan muda membuang mukanya, “Aku memerintahkanmu untuk keluar.”
Masih saja pemarah. Aku berbalik untuk keluar. Aku berdiri diam dibalik pintu untuk mendengar suara tak beraturan dari dalam kamar. Sampai larut malam, sebuah suara akhirnya datang dari dalam kamar, “Monyet, masuklah.”

Aku mendorong pintu terbuka. Tubuh Tuan muda bermandikan keringat, berbaring di atas karpet rumput. Kelihatannya dia telah menghabiskan semua tenaganya. Dia bicara dengan lemah, “Angkat aku.”

Aku mengangkat Tuan muda kembali ke tempat tidur. Nafasnya tidak beraturan. Dalam hatiku, aku sedikit paham, sangat sedikit paham apa yang Tuan muda sedang coba lakukan. Aku meragu sesaat sebelum bicara kepadanya dengan suara pelan, “Tuan muda, jika kau ingin melatih tubuhmu, kau harus meminta pelayanmu untuk membantu.”

Aku pasti telah memakan hati seekor leopard karena berani bicara begitu. Setelah aku selesai, aku menutup mataku menunggu kematian datang. Siapa yang tau Tuan muda malah menutup matanya, dan ketika nafasnya kembali tenang, dia menggumamkan sesuatu.

Ketika aku keluar dari kamar Tuan muda, hatiku berpikir memang benar Tuan muda malam ini aneh sekali.

   

No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...