Chapter 10: Sulit
sekali mencintaimu di kehidupan kali ini
Aku tak melihat
sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-benar marah padaku. Atau
mungkin lebih tepatnya dia memang tidak pernah menyukaiku di kehidupan kali
ini.
Chang’an masih
terlalu kecil sehingga informasi yang aku dapatkan dari mulutnya sangat minim. Namun
demikian pun, dia memberikanku jawaban dari pertanyaanku yang paling besar –
guru Zhonghua adalah seorang perempuan.
Perempuan.
Setelah mengetahui
hal ini, rasanya aku seperti dikhianati. Jelas-jelas dulu dia bilang hanya aku
yang bisa merayunya. Aku sudah merayunya dengan segenap kemampuanku, tapi dia
...
Aku kesal sekali
sampai-sampai aku tidak mau lagi menghampiri tepian mantra pelindung dan berhenti
berteriak memanggil namanya.
Keadaan ini
berlanjut sampai suatu hari langit di atas gunung Liubo tertutupi awan gelap
dan kekuatan gelap begitu lekat menyelimuti sampai membuatku terjaga. Aku tau
pasti Hu’yi sedang menyerang gunung Liubo.
Chang’an tidak
bisa diam dan gelisah seperti seekor semut yang merayap diatas bara, meratap
bahwa dia akan hidup dan mati bersama gunung Liubo. Merasa terganggu dengan
ocehannya, aku membuatnya pingsan dan mengurungnya di dalam rumah. Segera setelah
aku memeriksa sekeliling, suara pertempuran terdengar dari sisi lain.
Tarik nafas ,
manusia sungguh aneh. Kalau mereka ingin saling membunuh, lakukan saja. Mengapa
pula mereka harus menyiksa telingaku dengan teriakan-teriakan mereka? Mereka berteriak
seolah-olah dengan berteriak mereka bisa membunuh lawannya di tempat.
Suara dentuman
keras terdengar dan menyusul mantra pelindung luruh seperti debu. Sesosok tubuh
melayang di udara – jubah hitamnya melambai-lambai dan rambutnya yang panjang
tergerai. Hu’yi. Dia melemparkan pandangan ke seluruh hutan plum. Ketika dia
menemukanku, dia mendarat dan berkata, “Aku tak suka berhutang budi kepada
seseorang. Kau telah membebaskanku, sekarang aku akan membebaskanmu. Kita impas
sekarang.”
Tarik nafas 2 x. Dia
reinkarnasi pendeta agung di kehidupan yang lalu, tak diragukan lagi. Caranya memandang
orang lain terlihat sama.
Baru saja aku
akan membuka mulutku untuk bilang bahwa aku tak akan pergi, sebuah suara
bernada dingin terdengar dari arah belakang: “Kalian berdua jangan bermimpi
untuk bisa meninggalkan gunung Liubo!”
Aku membalikkan
badan. Zhonghua menghunuskan pedangnya ke arah Hu’yi, wajahnya sinis: “Dua
puluh tahun yang lalu aku telah mengampuni hidupmu, tapi kau masih berani
menyerang gunung Liubo! Aku pasti akan mengkahiri hidupmu hari ini.”
Aku menatap
ekspresi wajahnya dan perasaan tidak nyaman melingkupi hatiku. Aku mundur dua
langkah dan berlindung dibelakang Hu’yi, mengalihkan pandangan dari Zhonghua.
Hu’yi menatap
Zhonghua dengan cemoohan tersungging dibibirnya. “Aku tak perlu ampunanmu. Kau bisa
dengan mudah membunuhku karena kau adalah yang paling hebat. Tapi apakah
murid-murid Liubo yang lain mampu bertahan dari serangan para monster diluar
sana? Apakah semua orang yang mencari keabadian sekuat dirimu?”
Nafsu membunuh di
wajah Zhonghua semakin pekat.
Hu’yi bicara
lagi: “Zhonghua, kalau kau bisa berjanji satu hal padaku, aku berjanji akan
membebaskan Liubo dari serangan para iblis tanpa melukai satu nyawa pun. Diluar
itu, aku serahkan hidupku padamu, lakukan apa pun yang kau suka.”
Bahkan aku pun
terkejut mendengar kata-katanya, terlebih Zhonghua. Dia mengerahkan segala
kemampuannya untuk menyerang Liubo hanya untuk menjadikan dirinya tumbal?
Sesaat, aku semakin penasaran.
Zhonghua terdiam
beberapa saat. “Apa yang kau mau?”
“Bebaskan dia
agar dia bisa bereinkarnasi.” Melalui suaranya yang tercekat, terasa amarah yang coba di Bebaskanla dia!”
Setelah mendengar
permintaan Hu’yi, wajah Zhonghua semakin kelam. “Itu tidak mungkin.”
Hu’yi menjadi
murka. “ Biarpun begitu, dia pernah menjadi gurumu. Dia telah mendidikmu dan
membesarkanmu! Kalian telah emmenjarakannya selama dua puluh tahun. Kalau hal
ini dibiarkan terus berlanjut, dia akan musnah! Zhonghua, apakah hatimu sekeras
baja?”
Aku mengangkat
alis dan melemparkan tatapan bertanya kepada Zhonghua, namun yang aku lihat
hanyalah wajah tanpa ekspresi. “Dia jatuh cinta kepada iblis dan mengkhianati
Liubo, menyeret kami kepada penderitaan. Menurut hukum kami yang berlaku, dia
harus dihukum dan jiwanya harus dikurung.”
Jiwanya dikurung.
Itu artinya ruhnya dipenjara hingga malaikat maut tidak bisa menjemputnya untuk
pergi ke akhirat, ditahan di dunia manusia sampai ruhnya tidak meninggalkan
apa-apa. Untuk sesosok ruh, dipenjara di dunia manusia adalah hukuman yang
sangat kejam. Karena sekali ruh menguap, maka ia tidak akan bisa lahir kembali.
Begitupun, sihir ini Cuma sihir biasa bila dibandingkan dengan sihir di dunia
kahirat. Karena yang ada di alam akhirat cuma ruh atau entitas jiwa. Malaikat maut
terbiasa menggunakan mantra sihir ini untuk menghukum ruh dan jiwa yang berdosa
sebelum membawa mereka menemui Yanwang.
Awalnya aku kira
sihir ini cuma ada di alam akhirat, tak ku duga ternyata sihir ini telah di
wariskan dari generasi ke generasi di gunung Liubo.
Dua puluh tahun. Waktu
yang cukup untuk membuat ruh luruh menjadi debu ...
Hu’yi mengepalkan
tangannya.
Aku merenung
untuk beberapa saat. Menurutku tindakan yang tidak pantas mengurung ruh mahkluk
hidup. Kalau dilihat, Zhonghua membenci Hu’yi dan Hu’yi juga membenci Zhonghua.
Mungkin ini yang disebut ‘bertemu melalui kesengsaraan’. Pada titik ini, bila
ia tidak membiarkan Hu’yi membebaskan ruh tersebut, dan bila jangka waktu
reinkarnasi ruh itu telah berlalu, maka Zhonghua pasti akan dihantam halilintar
36 kali. Dengan sosoknya sebagai manusia yang terdiri dari daging dan darah,
aku takut dia tidak akan bertahan pada hantaman yang pertama.
Sampai pada
kesimpulan ini, aku menepuk bahu Hu’yi; “Ruh seperti apa yang kita bicarakan? Kau
tau dimana mereka mengurungnya?”
Hu’yi membalikkan
tubuhnya menghadapku. Mata Zhonghua juga tertuju kepadaku sambil menekankan: “Aku
sarankan kau untuk ikut campur dalam masalah yang tidak ada sangkut pautnya
denganmu.”
Aku menerucutkan
bibirku, dalam hatiku aku berpikir bahwa reinkarnasi Moxi kali ini benar-benar
menyebalkan. Tapi aku tak bisa membiarkannya gagal dalam ujian hidupnya hanya
karena dia tidak menyenangkan di kehidupan kali ini. Kalau dia dihantam
halilintar saat ini, siapa lagi yang akan aku rayu di kehidupan yang akan
datang?!
“Dimana dia?” aku
bertanya kepada Hu’yi.
Mata Hu’yi bersinar.
Dia menyaksikanku merubuhkan pagoda dengan satu tarikan nafas. Terlalu putus
asa untuk meragukanku, dia menunjuk ke sebuah menara tidak jauh dari sini dan
berkata, “Di puncak menara. Tapi dia masih butuh bantuan seseorang untuk
membebaskan dirinya ...”
Pagoda seribu
gembok, puncak menara, apakah mereka dimaksudkan untuk tidak pernah bertemu di
kehidupan ini ...? Hal ini agak terlalu kejam. Aku menepuk bahunya dan
meyakinkannya untuk tenang, dan aku melirik ekspresi Zhonghua yang penuh nafsu
membunuh. “Tahan dia.” Perkelahian mulai terdengar dibelakangku. Aku mengabaikan
mereka, hanya berharap Hu’yi bisa mengulur waktu.
Aku lahir di alam
akhirat. Meskipun aku bukan hantu pembawa pesan, aku terlahir dengan
pengetahuan tentang bagaimana mengawal ruh ... meskipun tidak secara
profesional.
Setelah memanjat
menara, aku melihat sebuah arca peringatan mengambang diudara. Tidak ada
tulisan yang tertera diatasnya, namun kondisinya sangat bersih. Jelas sekali
ada seseorang yang senantiasa membersihkannya.
Aku memerhatikan
sekeliling tanpa bisa menemukan dimana ruh guru Zhonghua dikurung. Selagi aku
menggaruk kepalaku dengan bingung, sesaat aku menangkap seberkas cahaya turun
dari atas, aku melihat sumber cahaya dan melihat sebuah lilin tergantung di
atap menara. Diatasnya terdapat sebuah lukisan – lukisan wajah seseorang,
sepertinya.
Aku melompat
menuju atap dan dengan seksama memerhatikan lukisan itu.
Lukisan itu
menggambarkan punggung sesosok wanita berpakaian putih. Caranya mengenakan
pakaian mirip sekali dengan cara murd-murid gunung Liubo berpakaian. Wanita itu
menggenggam sebatang ranting plum dan tubuhnya sedikit membungkuk, seolah
sedang menghirup wangi bunga.
Hatiku terkesiap.
Kalau aku tidak
melihat tulisan dipojok lukisan, aku pasti berpikir lukisan ini pastilah
lukisan yang Moxi lukis untukku dulu dan hingga hari ini masih bertahan. “Dilukis
pada tahun ke-sepuluh Zhengwu, di paviliun Shili, Gunung Liubo.”
Menghubungkan segala
hal yang telah terjadi, tidak sulit memastikan bahwa wanita dalam lukisan ini
adalah guru Zhonghua.
Aku hampir tak
percaya guru Zhonghua sangat mirip denganku ... oleh karena itu perasaan
dikhianati yang tadinya aku rasakan dengan cepat sirna.
Kalau lukisannya
ada disini, maka ... aku baru akan menggapai untuk menyentuh lukisan itu ketika
seberkas cahaya keemasan berpendar dan mendorongku ke belakang.
Mantra pelindung.
Jiwa perempuan
itu pastilah terkurung disini. Aku memusatkan kekuatan sihirku ditelapak tangan
dan menghantam mantra pelindung. Cahaya keemasan mengerjap dua kali sebelum
sirna. Dengan perasaan senang aku menurunkan lukisan itu. Tepat seperti yang
kuharapkan, segumpal benda berwarna putih terdapat didalamnya.
Aku sudah melihat
berbagai macam jiwa. Kalau terlambat beberapa hari saja, jiwa ini pasti sudah
musnah sepenuhnya. Aku merapalkan mantra yang dengan mudah membebaskan jiwa
yang terkurunng di dalamnya. Aku meletakkan jiwa perempuan itu ditelapak tanganku
dan dengan lembut meniupkan mantra agar jiwanya tidak sirna ketika dalam
perjalan ke alam akhirat.
Aku melompat ke
puncak menara dan melepaskan jiwanya ke udara. Dia tidak beranjak. Jiwa itu
mengambang di udara seolah dia mencoba bertahan di Liubo sebisanya.
“Pergilah,” aku
memberitahunya. “Semua yang terjadi di kehidupan ini sudah menjadi masa lalu. Meskipun
sulit untuk merelakannya, kau tidak bisa kembali.” Aku berpikir untuk beberapa
saat dan berkata, “Hantu di alam akhirat cukup baik hati. Bilang kepada mereka
kalau kau kenal dengan Sansheng. Mereka mungkin bisa membawamu masuk dari pintu
belakang.”
Jiwa itu bimbang
untuk beberapa saat, dan perlahan turun ke bawah. Aku menatapnya selagi jiwa
itu melayang menuju kediaman Zhonghua.
Pemandangannya indah
sekali dari sini. Aku melihat di kejauhan dimana Zhonghua sedang bertempur
melawan Hu’yi. Hu’yi kelihatan sekali kewalahan, namun bila dia benar-benar
putus ada, maka Zhonghua tidak akan menang dengan mudah. Melihat situasinya
semakin sulit, Zhonghua menghunuskan pedangnya.
Hu’yi hendak
mengelak, namun tiba-tiba, dia bergetar hebat dan tidak menghindari hunusan
pedang Zhonghua, membiarkan ujung pedang menghunjam tepat dijantungnya dan
tembus sampai ke belakang tubuhnya.
Aku rasa aku tau
apa yang dia lihat. Aku juga tau dia pasti tersenyum.
Aku melambai
kearah dua jiwa, mengirimkan mereka untuk melalui tahapan reinkarnasi. Berdua,
mereka mungkin bisa menikmati rumpun amarilis dan mungkin akan mengukir nama
mereka di atas batu Sansheng.
Dari puncak
menara, aku berdiri menatap kepergian mereka. Ketika aku mengalihkan pandangan,
aku merasakan sorot mata tajam. Di kejauhan, Zhonghua menatap dengan bengis. Aku
langsung teringat kalimat pertama yang ia ucapkan kepadaku ketika pertama kali
kami bertemu di kehidupan ini: “Kalau kau bukan manusia, maka kau jelas
berbeda.”
Kalau aku
pikir-pikir, jalan pikiranku memang sedikit ‘berbeda’ dari cara dia berpikir di
kehidupan yang lalu. Pertama, aku meruntuhkan pagoda dan membebaskan iblis Hu’yi,
menyebabkan serangan kaum iblis ke gunung Liubo. Sekarang, aku membebaskan gurunya dan
memungkinkan guru yang dia cintai untuk bereinkarnasi bersama Hu’yi.
Yang Agung
Zhonghua pasti sangat membenciku!
Kala aku melemparkan
seulas senyuman kepadanya, tak sengaja aku melihat sekelebat bayangan iblis
ular menyelinap melalui celah pintu kabin tak jauh dari hutan plum. Hatiku menciut
ketakutan. Chang’an ada di dalam!
Tanpa berpikir
panjang, aku melompat dan menerjang ke dalam kabin. Di ambang pintu, aku
melihat Chang’an memberontak di atas tempat tidur. Di ujung mulutnya tampak
ekor ular berwarna kuning, berayun menyeramkan.
Iblis ular jenis
ini menyukai bagian perut anak kecil. Mereka akan berubah wujud ke bentuk
asalnya dan masuk melalui mulut anak-anak sampai mereka memakan habis semua
bagian dalam si anak.
Aku melangkah
maju, memegangi Chang’an, dan menopang lehernya dengan satu tangan dan satu
tangan lagi menarik ekor ular. Aku menyerang ular dengan mantra dan membunuhnya
selagi dia masih di dalam perut Chang’an, dan dengan perlahan menarik ular itu
keluar dari dulut Chang’an.
Tanpa peringatan,
perasaan dingin merayap dipunggungku selagi aku mendengar desingan benda robek
dikulitku.
Aku melirik ke
bagian bawah tubuhku dan melihat sehunus pedang menembus perutku. Rasa sakit
belum lagi sampai ke otakku. Siapa yang ingin membunuhku? Dengan penasaran aku
ingin mencari tau.
Aku menoleh ke
belakang. Zhonghua sedang menatapku dengan ekspresi mengancam: “Aku tak akan
membiarkanmu menyentuh orang-orang Liu ... “ ditengah-tengah kalimat, pupil
matanya mengecil dan menatap seekor ular berwarna kuning ditanganku.
Kesunyian yang
menyiksa melingkupi seisi ruangan. Hanya suara Chang’an yang sedang muntah
terdengar. Tak lama kemudian dia pingsan.
“Dia mirip sekali
denganmu di kehidupan yang lalu dan aku tak sampai hati untuk ...” Tubuhku
melorot ke lantai; ditenggorokan terasa sedikit aroma manis yang kental. “Aku
bukan iblis.”
Kalau pedang ini cuma
buatan manusia, maka aku pasti tidak akan merasakan apa-apa meskipun pedang ini
menembus tubuhku beberapa kali. Sayangnya, pedang Zhonghua adalah pedang wasiat
yang sudah turun temurun diwariskan dari kaum tetua. Untuk ruh yang berasal
dari alam akhirat seperti aku, bisa dibilang pedang ini adalah musuh terbesarku.
Aku merasakan
tubuhku mulai meyerah, aku mencengkeram ujung jubahnya. Aku tersenyum: “Tahukah
kau? Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini.”
Terdiam, dia
tidak bereaksi apa-apa.
“Namun hari itu
... hatiku hancur saat kau memanggil gurumu ketika kau tidur dipangkuanku ...”
Akhirnya rasa
sakit datang, bukan hanya sakit karena luka yang ku alami, namun juga sakit
karena pertempuran antara kekuatan hitam dan kekuatan pedang di dalah tubuhku. Dengan
erat aku mencengkeram ujung jubahnya. Terlihat dia terkaget dan memperoleh
kembali kesadarannya, dia menggendongku dan berlari keluar. “Ada obat di balai
utama.”
Mungkin hanya
khayalanku, namun aku merasa bahwa tubuh orang yang menggendongku goyah tidak
seperti dirinya yang biasa.
Mengapa pria ini
penuh pertentangan?
Pandanganku semakin
kabur.
Setelah mantra
pelindung luruh, salju di hutan plum mencair dan dedaunan juga layu,
meninggalkan pekarangan yang gersang.
Aku melirik
wajahnya dan memaksakan seulas senyuman. “Apakah kau tau mengapa aku menyukai
bau dan putihnya salju?” Aku menggumam; bahkan aku tak bisa mendengar suaraku
lagi. Namun dia berhenti dan menatapku, emosi di matanya tampak berkecamuk.
Pada saat itu,
aku hampir berpikir bahwa dia telah terlepas dari mantra si Tua Meng dan
ingatan tentang masa lalu kami kembali ke pikirannya. Kemudian, aku tenggelam
ke dalam kegelapan dan melihat teman-teman lamaku lagi.
Aku dengar
suaraku untuk yang terakhir kali: “Maukah kau menyebut namaku untuk sekali
saja?”
Dia tetap diam.
Jadi pada
akhirnya dia bahkan tidak tau namaku kali ini ...
___________________________________________________________
At the beginning, life is never easy nor it hard.
at times comes the easy, at the other time comes the hard part
sigh ....
all we can do is just keep moving on and believe there will be sunshine and rainbow ahead!!!
keep optimist!!!
___________________________________________________________
___________________________________________________________
At the beginning, life is never easy nor it hard.
at times comes the easy, at the other time comes the hard part
sigh ....
all we can do is just keep moving on and believe there will be sunshine and rainbow ahead!!!
keep optimist!!!
___________________________________________________________
No comments:
Post a Comment