Friday 8 September 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini

Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-benar marah padaku. Atau mungkin lebih tepatnya dia memang tidak pernah menyukaiku di kehidupan kali ini.
Chang’an masih terlalu kecil sehingga informasi yang aku dapatkan dari mulutnya sangat minim. Namun demikian pun, dia memberikanku jawaban dari pertanyaanku yang paling besar – guru Zhonghua adalah seorang perempuan.

Perempuan.

Setelah mengetahui hal ini, rasanya aku seperti dikhianati. Jelas-jelas dulu dia bilang hanya aku yang bisa merayunya. Aku sudah merayunya dengan segenap kemampuanku, tapi dia ...

Aku kesal sekali sampai-sampai aku tidak mau lagi menghampiri tepian mantra pelindung dan berhenti berteriak memanggil namanya.

Keadaan ini berlanjut sampai suatu hari langit di atas gunung Liubo tertutupi awan gelap dan kekuatan gelap begitu lekat menyelimuti sampai membuatku terjaga. Aku tau pasti Hu’yi sedang menyerang gunung Liubo.

Chang’an tidak bisa diam dan gelisah seperti seekor semut yang merayap diatas bara, meratap bahwa dia akan hidup dan mati bersama gunung Liubo. Merasa terganggu dengan ocehannya, aku membuatnya pingsan dan mengurungnya di dalam rumah. Segera setelah aku memeriksa sekeliling, suara pertempuran terdengar dari sisi lain.

Tarik nafas , manusia sungguh aneh. Kalau mereka ingin saling membunuh, lakukan saja. Mengapa pula mereka harus menyiksa telingaku dengan teriakan-teriakan mereka? Mereka berteriak seolah-olah dengan berteriak mereka bisa membunuh lawannya di tempat.

Suara dentuman keras terdengar dan menyusul mantra pelindung luruh seperti debu. Sesosok tubuh melayang di udara – jubah hitamnya melambai-lambai dan rambutnya yang panjang tergerai. Hu’yi. Dia melemparkan pandangan ke seluruh hutan plum. Ketika dia menemukanku, dia mendarat dan berkata, “Aku tak suka berhutang budi kepada seseorang. Kau telah membebaskanku, sekarang aku akan membebaskanmu. Kita impas sekarang.”

Tarik nafas 2 x. Dia reinkarnasi pendeta agung di kehidupan yang lalu, tak diragukan lagi. Caranya memandang orang  lain terlihat sama.

Baru saja aku akan membuka mulutku untuk bilang bahwa aku tak akan pergi, sebuah suara bernada dingin terdengar dari arah belakang: “Kalian berdua jangan bermimpi untuk bisa meninggalkan gunung Liubo!”

Aku membalikkan badan. Zhonghua menghunuskan pedangnya ke arah Hu’yi, wajahnya sinis: “Dua puluh tahun yang lalu aku telah mengampuni hidupmu, tapi kau masih berani menyerang gunung Liubo! Aku pasti akan mengkahiri hidupmu hari ini.”

Aku menatap ekspresi wajahnya dan perasaan tidak nyaman melingkupi hatiku. Aku mundur dua langkah dan berlindung dibelakang Hu’yi, mengalihkan pandangan dari Zhonghua.

Hu’yi menatap Zhonghua dengan cemoohan tersungging dibibirnya. “Aku tak perlu ampunanmu. Kau bisa dengan mudah membunuhku karena kau adalah yang paling hebat. Tapi apakah murid-murid Liubo yang lain mampu bertahan dari serangan para monster diluar sana? Apakah semua orang yang mencari keabadian sekuat dirimu?”

Nafsu membunuh di wajah Zhonghua semakin pekat.

Hu’yi bicara lagi: “Zhonghua, kalau kau bisa berjanji satu hal padaku, aku berjanji akan membebaskan Liubo dari serangan para iblis tanpa melukai satu nyawa pun. Diluar itu, aku serahkan hidupku padamu, lakukan apa pun yang kau suka.”

Bahkan aku pun terkejut mendengar kata-katanya, terlebih Zhonghua. Dia mengerahkan segala kemampuannya untuk menyerang Liubo hanya untuk menjadikan dirinya tumbal? Sesaat, aku semakin penasaran.

Zhonghua terdiam beberapa saat. “Apa yang kau mau?”

“Bebaskan dia agar dia bisa bereinkarnasi.” Melalui suaranya yang tercekat, terasa  amarah yang coba di Bebaskanla dia!”

Setelah mendengar permintaan Hu’yi, wajah Zhonghua semakin kelam. “Itu tidak mungkin.”
Hu’yi menjadi murka. “ Biarpun begitu, dia pernah menjadi gurumu. Dia telah mendidikmu dan membesarkanmu! Kalian telah emmenjarakannya selama dua puluh tahun. Kalau hal ini dibiarkan terus berlanjut, dia akan musnah! Zhonghua, apakah hatimu sekeras baja?”

Aku mengangkat alis dan melemparkan tatapan bertanya kepada Zhonghua, namun yang aku lihat hanyalah wajah tanpa ekspresi. “Dia jatuh cinta kepada iblis dan mengkhianati Liubo, menyeret kami kepada penderitaan. Menurut hukum kami yang berlaku, dia harus dihukum dan jiwanya harus dikurung.”

Jiwanya dikurung. Itu artinya ruhnya dipenjara hingga malaikat maut tidak bisa menjemputnya untuk pergi ke akhirat, ditahan di dunia manusia sampai ruhnya tidak meninggalkan apa-apa. Untuk sesosok ruh, dipenjara di dunia manusia adalah hukuman yang sangat kejam. Karena sekali ruh menguap, maka ia tidak akan bisa lahir kembali. Begitupun, sihir ini Cuma sihir biasa bila dibandingkan dengan sihir di dunia kahirat. Karena yang ada di alam akhirat cuma ruh atau entitas jiwa. Malaikat maut terbiasa menggunakan mantra sihir ini untuk menghukum ruh dan jiwa yang berdosa sebelum membawa mereka menemui Yanwang.

Awalnya aku kira sihir ini cuma ada di alam akhirat, tak ku duga ternyata sihir ini telah di wariskan dari generasi ke generasi di gunung Liubo.

Dua puluh tahun. Waktu yang cukup untuk membuat ruh luruh menjadi debu ...
Hu’yi mengepalkan tangannya.

Aku merenung untuk beberapa saat. Menurutku tindakan yang tidak pantas mengurung ruh mahkluk hidup. Kalau dilihat, Zhonghua membenci Hu’yi dan Hu’yi juga membenci Zhonghua. Mungkin ini yang disebut ‘bertemu melalui kesengsaraan’. Pada titik ini, bila ia tidak membiarkan Hu’yi membebaskan ruh tersebut, dan bila jangka waktu reinkarnasi ruh itu telah berlalu, maka Zhonghua pasti akan dihantam halilintar 36 kali. Dengan sosoknya sebagai manusia yang terdiri dari daging dan darah, aku takut dia tidak akan bertahan pada hantaman yang pertama.

Sampai pada kesimpulan ini, aku menepuk bahu Hu’yi; “Ruh seperti apa yang kita bicarakan? Kau tau dimana mereka mengurungnya?”

Hu’yi membalikkan tubuhnya menghadapku. Mata Zhonghua juga tertuju kepadaku sambil menekankan: “Aku sarankan kau untuk ikut campur dalam masalah yang tidak ada sangkut pautnya denganmu.”

Aku menerucutkan bibirku, dalam hatiku aku berpikir bahwa reinkarnasi Moxi kali ini benar-benar menyebalkan. Tapi aku tak bisa membiarkannya gagal dalam ujian hidupnya hanya karena dia tidak menyenangkan di kehidupan kali ini. Kalau dia dihantam halilintar saat ini, siapa lagi yang akan aku rayu di kehidupan yang akan datang?!

“Dimana dia?” aku bertanya kepada Hu’yi.

Mata Hu’yi bersinar. Dia menyaksikanku merubuhkan pagoda dengan satu tarikan nafas. Terlalu putus asa untuk meragukanku, dia menunjuk ke sebuah menara tidak jauh dari sini dan berkata, “Di puncak menara. Tapi dia masih butuh bantuan seseorang untuk membebaskan dirinya ...”
Pagoda seribu gembok, puncak menara, apakah mereka dimaksudkan untuk tidak pernah bertemu di kehidupan ini ...? Hal ini agak terlalu kejam. Aku menepuk bahunya dan meyakinkannya untuk tenang, dan aku melirik ekspresi Zhonghua yang penuh nafsu membunuh. “Tahan dia.” Perkelahian mulai terdengar dibelakangku. Aku mengabaikan mereka, hanya berharap Hu’yi bisa mengulur waktu.

Aku lahir di alam akhirat. Meskipun aku bukan hantu pembawa pesan, aku terlahir dengan pengetahuan tentang bagaimana mengawal ruh ... meskipun tidak secara profesional.
Setelah memanjat menara, aku melihat sebuah arca peringatan mengambang diudara. Tidak ada tulisan yang tertera diatasnya, namun kondisinya sangat bersih. Jelas sekali ada seseorang yang senantiasa membersihkannya.

Aku memerhatikan sekeliling tanpa bisa menemukan dimana ruh guru Zhonghua dikurung. Selagi aku menggaruk kepalaku dengan bingung, sesaat aku menangkap seberkas cahaya turun dari atas, aku melihat sumber cahaya dan melihat sebuah lilin tergantung di atap menara. Diatasnya terdapat sebuah lukisan – lukisan wajah seseorang, sepertinya.

Aku melompat menuju atap dan dengan seksama memerhatikan lukisan itu.

Lukisan itu menggambarkan punggung sesosok wanita berpakaian putih. Caranya mengenakan pakaian mirip sekali dengan cara murd-murid gunung Liubo berpakaian. Wanita itu menggenggam sebatang ranting plum dan tubuhnya sedikit membungkuk, seolah sedang menghirup wangi bunga.
Hatiku terkesiap.

Kalau aku tidak melihat tulisan dipojok lukisan, aku pasti berpikir lukisan ini pastilah lukisan yang Moxi lukis untukku dulu dan hingga hari ini masih bertahan. “Dilukis pada tahun ke-sepuluh Zhengwu, di paviliun Shili, Gunung Liubo.”

Menghubungkan segala hal yang telah terjadi, tidak sulit memastikan bahwa wanita dalam lukisan ini adalah guru Zhonghua.

Aku hampir tak percaya guru Zhonghua sangat mirip denganku ... oleh karena itu perasaan dikhianati yang tadinya aku rasakan dengan cepat sirna.

Kalau lukisannya ada disini, maka ... aku baru akan menggapai untuk menyentuh lukisan itu ketika seberkas cahaya keemasan berpendar dan mendorongku ke belakang.
Mantra pelindung.

Jiwa perempuan itu pastilah terkurung disini. Aku memusatkan kekuatan sihirku ditelapak tangan dan menghantam mantra pelindung. Cahaya keemasan mengerjap dua kali sebelum sirna. Dengan perasaan senang aku menurunkan lukisan itu. Tepat seperti yang kuharapkan, segumpal benda berwarna putih terdapat didalamnya.

Aku sudah melihat berbagai macam jiwa. Kalau terlambat beberapa hari saja, jiwa ini pasti sudah musnah sepenuhnya. Aku merapalkan mantra yang dengan mudah membebaskan jiwa yang terkurunng di dalamnya. Aku meletakkan jiwa perempuan itu ditelapak tanganku dan dengan lembut meniupkan mantra agar jiwanya tidak sirna ketika dalam perjalan ke alam akhirat.

Aku melompat ke puncak menara dan melepaskan jiwanya ke udara. Dia tidak beranjak. Jiwa itu mengambang di udara seolah dia mencoba bertahan di Liubo sebisanya.

“Pergilah,” aku memberitahunya. “Semua yang terjadi di kehidupan ini sudah menjadi masa lalu. Meskipun sulit untuk merelakannya, kau tidak bisa kembali.” Aku berpikir untuk beberapa saat dan berkata, “Hantu di alam akhirat cukup baik hati. Bilang kepada mereka kalau kau kenal dengan Sansheng. Mereka mungkin bisa membawamu masuk dari pintu belakang.”

Jiwa itu bimbang untuk beberapa saat, dan perlahan turun ke bawah. Aku menatapnya selagi jiwa itu melayang menuju kediaman Zhonghua.

Pemandangannya indah sekali dari sini. Aku melihat di kejauhan dimana Zhonghua sedang bertempur melawan Hu’yi. Hu’yi kelihatan sekali kewalahan, namun bila dia benar-benar putus ada, maka Zhonghua tidak akan menang dengan mudah. Melihat situasinya semakin sulit, Zhonghua menghunuskan pedangnya.

Hu’yi hendak mengelak, namun tiba-tiba, dia bergetar hebat dan tidak menghindari hunusan pedang Zhonghua, membiarkan ujung pedang menghunjam tepat dijantungnya dan tembus sampai ke belakang tubuhnya.

Aku rasa aku tau apa yang dia lihat. Aku juga tau dia pasti tersenyum.

Aku melambai kearah dua jiwa, mengirimkan mereka untuk melalui tahapan reinkarnasi. Berdua, mereka mungkin bisa menikmati rumpun amarilis dan mungkin akan mengukir nama mereka di atas batu Sansheng.

Dari puncak menara, aku berdiri menatap kepergian mereka. Ketika aku mengalihkan pandangan, aku merasakan sorot mata tajam. Di kejauhan, Zhonghua menatap dengan bengis. Aku langsung teringat kalimat pertama yang ia ucapkan kepadaku ketika pertama kali kami bertemu di kehidupan ini: “Kalau kau bukan manusia, maka kau jelas berbeda.”

Kalau aku pikir-pikir, jalan pikiranku memang sedikit ‘berbeda’ dari cara dia berpikir di kehidupan yang lalu. Pertama, aku meruntuhkan pagoda dan membebaskan iblis Hu’yi, menyebabkan serangan kaum iblis ke gunung Liubo.  Sekarang, aku membebaskan gurunya dan memungkinkan guru yang dia cintai untuk bereinkarnasi bersama Hu’yi.

Yang Agung Zhonghua pasti sangat membenciku!

Kala aku melemparkan seulas senyuman kepadanya, tak sengaja aku melihat sekelebat bayangan iblis ular menyelinap melalui celah pintu kabin tak jauh dari hutan plum. Hatiku menciut ketakutan. Chang’an ada di dalam!

Tanpa berpikir panjang, aku melompat dan menerjang ke dalam kabin. Di ambang pintu, aku melihat Chang’an memberontak di atas tempat tidur. Di ujung mulutnya tampak ekor ular berwarna kuning, berayun menyeramkan.

Iblis ular jenis ini menyukai bagian perut anak kecil. Mereka akan berubah wujud ke bentuk asalnya dan masuk melalui mulut anak-anak sampai mereka memakan habis semua bagian dalam si anak.
Aku melangkah maju, memegangi Chang’an, dan menopang lehernya dengan satu tangan dan satu tangan lagi menarik ekor ular. Aku menyerang ular dengan mantra dan membunuhnya selagi dia masih di dalam perut Chang’an, dan dengan perlahan menarik ular itu keluar dari dulut Chang’an.
Tanpa peringatan, perasaan dingin merayap dipunggungku selagi aku mendengar desingan benda robek dikulitku.

Aku melirik ke bagian bawah tubuhku dan melihat sehunus pedang menembus perutku. Rasa sakit belum lagi sampai ke otakku. Siapa yang ingin membunuhku? Dengan penasaran aku ingin mencari tau.

Aku menoleh ke belakang. Zhonghua sedang menatapku dengan ekspresi mengancam: “Aku tak akan membiarkanmu menyentuh orang-orang Liu ... “ ditengah-tengah kalimat, pupil matanya mengecil dan menatap seekor ular berwarna kuning ditanganku.

Kesunyian yang menyiksa melingkupi seisi ruangan. Hanya suara Chang’an yang sedang muntah terdengar. Tak lama kemudian dia pingsan.

“Dia mirip sekali denganmu di kehidupan yang lalu dan aku tak sampai hati untuk ...” Tubuhku melorot ke lantai; ditenggorokan terasa sedikit aroma manis yang kental. “Aku bukan iblis.”
Kalau pedang ini cuma buatan manusia, maka aku pasti tidak akan merasakan apa-apa meskipun pedang ini menembus tubuhku beberapa kali. Sayangnya, pedang Zhonghua adalah pedang wasiat yang sudah turun temurun diwariskan dari kaum tetua. Untuk ruh yang berasal dari alam akhirat seperti aku, bisa dibilang pedang ini adalah musuh terbesarku.

Aku merasakan tubuhku mulai meyerah, aku mencengkeram ujung jubahnya. Aku tersenyum: “Tahukah kau? Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini.”

Terdiam, dia tidak bereaksi apa-apa.

“Namun hari itu ... hatiku hancur saat kau memanggil gurumu ketika kau tidur dipangkuanku ...”
Akhirnya rasa sakit datang, bukan hanya sakit karena luka yang ku alami, namun juga sakit karena pertempuran antara kekuatan hitam dan kekuatan pedang di dalah tubuhku. Dengan erat aku mencengkeram ujung jubahnya. Terlihat dia terkaget dan memperoleh kembali kesadarannya, dia menggendongku dan berlari keluar. “Ada obat di balai utama.”

Mungkin hanya khayalanku, namun aku merasa bahwa tubuh orang yang menggendongku goyah tidak seperti dirinya yang biasa.

Mengapa pria ini penuh pertentangan?

Pandanganku semakin kabur.

Setelah mantra pelindung luruh, salju di hutan plum mencair dan dedaunan juga layu, meninggalkan pekarangan yang gersang.

Aku melirik wajahnya dan memaksakan seulas senyuman. “Apakah kau tau mengapa aku menyukai bau dan putihnya salju?” Aku menggumam; bahkan aku tak bisa mendengar suaraku lagi. Namun dia berhenti dan menatapku, emosi di matanya tampak berkecamuk.

Pada saat itu, aku hampir berpikir bahwa dia telah terlepas dari mantra si Tua Meng dan ingatan tentang masa lalu kami kembali ke pikirannya. Kemudian, aku tenggelam ke dalam kegelapan dan melihat teman-teman lamaku lagi.

Aku dengar suaraku untuk yang terakhir kali: “Maukah kau menyebut namaku untuk sekali saja?”
Dia tetap diam.

Jadi pada akhirnya dia bahkan tidak tau namaku kali ini ...


___________________________________________________________

At the beginning, life is never easy nor it hard.
at times comes the easy, at the other time comes the hard part
sigh ....
all we can do is just keep moving on and believe there will be sunshine and rainbow ahead!!!
keep optimist!!!

___________________________________________________________


No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...