Chapter 6 : Zhonghua Yang Agung
Aku tak pernah tau bahwa lima puluh tahun bisa begitu menyiksa.
Setelah melewatkan masa hukumanku, aku berpamitan dengan Yanwang dan
bereinkarnasi.
Kalau aku tidak segera pergi mencari Moxi, bagaimana kalau Moxi menambah
hukuman lima puluh tahun lagi? Untuk alasan ini, aku akan menuruti kemauannya.
Aku akan merayunya ketika dia sudah lemah dan tua. Aku dengar pria lebih mudah
terpengaruh hal negatif diusia ini. Mereka sudah berhasil secara karir,
keluarga yang mapan, mereka sudah menikmati segala hal yang perlu dinikmati,
namun pada usia ini mereka sudah tidak banyak memiliki ketertarikan.
Kalau aku pergi menemuinya sekarang untuk memberikan sedikit kesenangan,
upaya untuk merayu Moxi akan terasa lebih mudah dilakukan.
Bila dilihat dari sudut pandang ini semuanya terlihat mudah, namun hidup
selalu penuh kejutan.
Aku menghabiskan waktu seratus tahun menunggu di dunia akhirat. Kegelapan yang
menyelimuti diriku tidak lebih ringan dari sebelumnya. Karena aku baru saja
tiba dari dunia akhirat, bau amis dari sungai Wangchuan masih segar. Tidak
perlu waktu lama sebelum sekelompok pendeta tertarik atas kehadiranku seperti
lalat yang tertarik kepada aroma daging busuk.
Era ini adalah masa dimana kegiatan memburu dan membunuh iblis dan penyihir
berkembang pesat. Usia pendeta-pendeta ini masih sangat muda dan bahkan bila
umur mereka semua ditambahkan kemudian dikalikan sepuluh, usiaku masih sangat
jauh lebih tua. Namun demikian mereka sangat yakin akan kemampuan mereka...
Aku tidak terlalu mahir berurusan dengan anak-anak yang serius ini, jadi
aku meniru nada suara Yanwang untuk menakut-nakuti mereka: “Enyahlah, atau aku
akan merebus dan memakanmu”
“Sombong, idiot!” pemimpin muda mereka mengarahkan pedangnya di depanku.
“Aku akan memusnahkanmu hari ini!” dia melolong.
Aku mengerutkan kening melihat anak muda ini, sungguh anak muda yang
garang. Terlihat jelas dari tingkah lakunya kalau anak muda ini tidak diajari
dengan benar. Aku menggelengkan kepala dan tak bisa menghindari untuk menyalahkan
guru mereka dalam hati. Selagi aku berpikir bagaimana caranya meloloskan diri,
teriakan seorang wanita terdengar dari kejauhan: “Changwu, segera kembali
kesini sekarang juga.” Wanita itu mengenakan gaun berwarna putih, pita
dirambutnya berkibar selagi tubuhnya melayang menuju kami seperti seorang peri
yang turun ke bumi.
Aku memandangnya dengan takjub. Aku tak pernah membayangkan bahwa ada
manusia yang begitu menawan di alam manusia ini. Namun aku belum selesai
menikmati keelokannya ketika tiba-tiba dari tangannya seutas pita terbentang ke
arahku dan melilit tubuhku dengan erat.
Setelah beberapa saat aku berjuang melepaskan diri, aku mengetahui bahwa
pita ini terbuat dari material yang unik.
Para pendeta muda itu bersorak kepada wanita itu, ‘guru besar’.
Guru besar...
Dengan anggun dia mengangguk, meminta mereka untuk bangkit, kemudian
melangkah mendekatiku dan untuk beberapa saat memandangku dengan penuh selidik.
“ Oh, ternyata iblis yang cantik.”
Aku tertawa. “Kau juga pendeta yang cantik.”
Dengan dingin wanita itu meringis. “Meskipun aku tak bisa melihat
asal-usulmu, sekali kau terikat dengan pita sutraku, kau tak akan bisa lolos
bagaimana pun hebatnya dirimu.”
Diam-diam aku berjuang untuk melepaskan diriku dari ikatan pita sutra dan
sedikit menyadari bahwa aku tidak memiliki kemampuan sama sekali. Benda ini
benar memang tali yang kuat. Namun kalau aku bersungguh-sungguh, ikatan ini tak
akan mampu menahanku. Wanita muda ini terlalu yakin dengan kemampuannya.
“Bawa dia ke gunung Libo agar Maha guru yang agung bisa menanganinya.”
Menyudahi kalimat ini dia berpamitan dengan para pendeta muda. “Meskipun aku
sudah mengikat iblis ini, aku tak bisa menduga-duga kekuatannya. Kalian harus
tetap waspada. Jangan biarkan dia menemukan cara untuk meloloskan diri. Aku
masih punya keperluan untuk diselesaikan, jadi aku tidak bisa kembali bersama
kalian.”
Pendeta-pendeta muda itu serentak mengiyakan.
Menimbang bahwa aku baru saja tiba disini, meskipun aku ingin sekali
mencari tahu keberadaan Moxi, namun aku tidak tau harus mulai dari mana. Aku
pikir ada baiknya ikut kemauan mereka saja. Dengan mereka tidak saja
meminimalisasi gangguan dari penganut-penganut agama fanatik, aku juga bisa
memanfaatkan waktu untuk mencari kabar tentang Moxi.
Pemuda-pemuda ‘imut’ ini ‘menggiring-ku’ pergi. Melihat mereka membuatku
sangat merindukan Moxi. Diantara anak-anak ini, hanya ada satu anak yang masih
terlihat seperti manusia biasa. Nama Dao-nya Chang’an – anak yang berwatak
lembut, pemalu dan naif.
Anak ini sangat mengingatkanku dengan Moxi kecil dikehidupanku yang lalu.
Aku suka sekali memerhatikannya, namun setiap kali aku meliriknya, dia
selalu ketakutan. Bingung, aku mencuri dengar bahwa anak ini takut bila suatu
kali aku akan melepaskan diri dari ikatan dan akan menculiknya untuk menghirup yang dari tubuhnya untuk memperkaya yin-ku.(1)
Aku segera saja merasa kewalahan. Bukan saja karena aku adalah jiwa
spiritual yang tidak perlu melakukan hal memalukan seperti itu, namun yang seperti apa yang bisa diperoleh
dari anak seperti ini? Kalau memang aku perlu menghirup yang... orang yang pertama kali harus aku hirup adalah Moxi.
(1) Kegelapan yang selalu
Sansheng sebutkan adalah merujuk kepada yin,
dimana yin adalah kegelapan sementara
yang adalah cahaya. Namun yin dan yang adalah juga dualitas pria-wanita, dan meskipun hal ini
menyangkut tentang jenis kelamin, namun bila ditinjau dari konteks Dao hubungan
seksual dipercaya bisa menjaga keseimbangan dua kekuatan ini yang pada akhirnya
akan memberikan kehidupan yang sehat.
Setelah tahu tentang hal ini, aku mencoba menahan diriku
untuk tidak melihatnya dengan mata laparku.
Selama perjalanan, aku tak sengaja mendengar bahwa kaisar
yang berkuasa adalah orang yang cukup taat. Penganut Dao tumbuh pesat dalam
masyarakat dan banyak penganut Dao mengirimkan anak mereka untuk belajar di
kuil. Tambahan lagi, gunung Libo jyang sedang kami tuju adalah salah satu kuil
terkemuka.
Tujuan mereka adalah hidup kekal.
Ketika canak-anak ini menyebutkan hal ini, wajah mereka
dipenuhi dengan rasa bangga, seolah-olah hanya dengan menjadi murid di gunung
Libo mereka sudah mendapatkan keberkahan selama ratusan tahun. Sebaliknya,
meskipun memang ada kaum mortal yang terbang ke angkasa hanya ada satu atau dua
orang yang berhasil dalam kurun waktu ribuan tahun. Angka keberhasilannya
sungguh sangat menyedihkan.
Kurcaci-kurcaci cilik ini berjalan sangat cepat, hanya
dalam beberapa hari kami sampai ke gunung Liubo.
Aku tidak memperoleh informasi tentang Moxi selama dalam
perjalanan dan merasa sedikit kecewa. Selagi aku mencari cara bagaimana untuk
melepaskan diri dari ikatan pita sutra sebelum memasuki gunung Libo, aku
melihat segel keemasan dipergelangan tanganku bereaksi.
Aku menjerit akibat sensasi terbakar dari pergelangan
tanganku selagi merasakan kibasan energi luar biasa menyapu di atas kepala kami
dan membuat rambutku berantakan.
Setelah merapikan rambutku yang berantakan dari wajahku,
aku melihat semua pendeta muda yang bersamaku berlutut menatap ke satu arah dan
berseru serempak: “Yang Agung!”
Ooh, jadi ini
bos Liubo.
Aku melihat dengan teliti dan segera melonjak girang. Ini
yang mereka sebut dengan “kenakan sepatumu” atau sesuatu seperti “hal yang
datang tanpa usaha” atau apalah (2)
(2) Sansheng mencoba
menggunakan peribahasa Cina yaitu sepatu besi yang kau kenakan sudah rusak
namun hal yang kau cari tidak kau dapatkan. Namun ketika kau tak mencari, malah
hal itu datang sendiri.
Kenapa, bukankah ini Moxi?!
Saat ini, bagaimanapun, Moxi masih terlihat seperti masih
dalam usia dua-puluhan atau tiga-puluhan. Dia tidak tua atau lemah sama
sekali., dan tidak kelihatan seperti manusia yang sudah hidup lima puluh tahun
di bumi. Namun muncul dalam benakku bahwa dia mencari kekekalan dalam hidup,
jadi dia menggunakan sihir untuk menjadi kaum immortal. Meskipun dia belum
menjadi sekelas malaikan, dengan mudah ia bisa mempertahankan usia mudanya.
Aku tertawa puas dalam hati. Moxi, Moxi, kau mencoba
bersembunyi dariku namun langit lebih cerdik darimu. Mari lihat bagaimana lagi
kau bisa bersembunyi dariku kali ini.
Selagi aku sibuk nyengir, tiga pedang mengeluarkan suara
‘whoosh’ tertuju ke arahku, aura ingin membunuh membuat tubuhku menggigil. Aku
berhenti nyengir dan melihat Moxi dengan rasa terkejut.
Tiga pedang yang tertuju ke arahku tidak berasal dari
Moxi, namun dari tiga orang pendeta beralis abu-abu dan berjenggot panjang yang
ada dibelakangnya. Mereka menyeringai, menatapku dengan serius.
Dengan nada dingin Moxi berkata; “Benda apa ini yang
muncul dari kegelapan?”
Aku menatap Moxi dengan terbodoh. Cara ia memandang ...
sorot matanya .... sama seperti ketika dia memandang Shi Qianqian dihidup yang
lalu.
Aku tidak tau namun aku tiba-tiba saja nerasa takut. Aku
tidak pernah suka menjelaskan diriku kepada orang lain, namun saat ini aku
harus menjelaskan diriku : “Meskipun kegelapan memang pekat dari diriku, aku
benar-benar bukan seorang Iblis. Aku ruh dari sebuah batu. Namaku Sansheng.”
Pendeta dengan alis abu-abu dan jenggot panjang saling
bertatapan dengan wajah bimbang, kemudian menoleh kepada Moxi.
“Kalau kau bukan dari kaum kami, maka kau jelas berbeda.
Kau harus dienyahkan.” Dengan dingin Moxi mengumumkan.
Kata-katanya sangat meyakinkan sehingga membuatku sedih
dan marah. Aku tak mengerti kenapa Moxi bisa bereinkarnasi menjadi manusia yang
bodoh kali ini. Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, kibasan pedang sudah
menerjang ke arahku, ikatan pita ditubuhku juga semakin erat.
Hatiku dipenuhi dengan marah. Selama ribuan tahun aku
hidup, diluar masa-masa aku menyakiti diriku sendiri, tidak ada yang berani
kurang ajar kepadaku. Dengan segera aku mengumpulkan kekuatanku agar aku bisa
melawannya.
Kalau ia masih dewa perang, pilihaku satu-satunya adalah
menanti kematian datang
menjemputku. Namun dia yang sekarang hanyalah manusia
yang sedang mencari kekekalan. Dia belum lagi memiliki kekuatan sihir lebih
dari empat puluh tahun ditubuhnya. Meskipun kemampuannya sedikit lebih baik,
dia tidak bisa menang melawanku tak peduli bagaimanapun hebatnya dia.
Kami belum bertarung lebih dari setengah jam namun wajah
Moxi sudah pucat. Aku meragu apakah aku bisa mengambil kesempatan untuk
menggunakan usia ribuan tahunku untuk menghajar dewa yang sedang menjalani
ujian hidup. Baru saja aku berniat untuk berhenti menyerang ketika Moxi
tiba-tiba saja memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya.
Terkejut, dengan segara aku menahan seranganku.
Apakah kekuatanku terlalu kuat sehingga aku tidak bisa
mengontrolnya?
Aku tertegun.
Tiga pendeta berjenggot panjang berseru pada waktu
bersamaan: “Yang agung Zhonghua!” dan bergegas menolong Moxi dan memeriksa
denyut nadinya. Murid-murid Liubo juga mengelilinginya.
Aku tak khawatir kalau ia akan mati (meskipun bila dia
mati aku juga tak keberatan). Jalannya memang sudah demikian. Takdir ‘bertemu
melalui rasa benci’ belum lagi dimulai. Bila Moxi belum melewati ujian ini, dia
tidak akan bisa bereinkarnasi lagi.
Pendeta-pendeta muda mengelilinginya dengan wajah cemas,
sampai salah satu dari mereka berdiri. Aku mengenalinya, anak muda bernama
Chang Wu. Dengan meyakinkan, dia melepaskan pedangnya dari sarungnya dan
menudingkannya kepadaku sambil berteriak penuh kebencian: “Iblis perempuan, kau
menyerang yang agung meskipun dia dalam keadaan terluka! Kau pantas mati!”
Seketika setelah dia berteriak, yang lainnya juga ikut
mengamuk. Pendeta-pendeta muda lainnya juga melepaskan pedang mereka dari
sarungnya dan mulai menyerangku. Bahkan yang paling penakut di antara mereka,
Chang’an, mukanya merah menahan amarah. Ramai-ramai mereka berteriak dan
mengatakan akan membunuhku untuk membasmi kejahatan dan mempertahankan
kebaikan.
Aku benci melihat anak-anak mengerubutiku sambil merajuk
minta gula-gula, dan meskipun keadaan saat ini jauh berbeda dengansituasi
ketika anak-anak minta gula-gula, dimataku sama saja.
Dengan ini aku memutuskan untuk menyerah: “baiklah,
baiklah! Lakukan yang kalian mau, lakukan yang kalian suka!”
Gerombolan ‘anak-anak’ itu menoleh ke kanan dan ke kiri,
tak satupun berani mengambil keputusan. Pada akhirnya, seorang pendeta tua
mengambil kesempatan dan berteriak: “Kurung dia di pagoda seribu gembok didasar
danau sihir.
Terdapat sebuah danau di gunung Liubo, yang tidak terlalu
luas namun terkenal dengan kedalaman airnya. Danau ini diselubungi mantra yang
sangat kuat, oleh karena itu murid-murid di gunung liubo menyebutnya danau
sihir. Pendeta-pendeta di gunung Liubo telah menghabiskan waktu ratusan tahun
untuk membangun pagoda seribu gembok didasar danau yang dikhususkan untuk
mengurung iblis berbahaya.
Aku berdiri ditepi danau dan menatap ke dasar danau. Sambil
mengelus dagu aku berpikir. Benda ini memang tepat untuk mengurung iblis. Pertama,
danau ini diselubungi oleh kekuatan yang sangat dahsyat, sehingga kekuatannya
bisa memurnikan aura iblis. Kedua, pagoda ini ada didalam air! Bila seseorang
tidak bisa bernafas, maka tak peduli seberapa kuatnya pun iblisnya, maka dia
akan tersapu seperti mayat setelah terperangkap didalamnya.
Namun demikian, berbeda halnya dengan diriku dan ruh
lainnya. Sari murni dari langit dan bumi merupakan aura yang tepat untuk tubuh
dan pikiranku; tempat ini merupakan tempat yang tepat bagiku untuk bermeditasi.
Aku tak mau repot-repot memberontak dan membiarkan ‘anak-anak’ itu memasang rantai
dikakiku sebelum merapalkan mantra untuk menenggelamkanku ke dasar danau.
Pemandangan disekitar danau tidak terlalu buruk
menurutku.
Setelah aku dijebloskan ke dalam pagoda, ‘anak-anak’
mulai meneriaki-ku dari seberang gerbang besi. Banyak kertas mantra didalam,
mereka memberitahuku. Atau bila aku memaksa untuk kabur, aku akan berakhir mati
mengenaskan. Tak memedulikan apapun, aku merobek sebuah kertas mantra dari
sebuah tiang dan memainkannya dijariku.
Pagoda ini penjara untuk iblis; semua bangunannya
diperuntukkan untuk menangani kekuatan iblis. Aku sudah bilang ribuan kali
kalau aku bukan iblis. Bodoh, manusia bodoh yang suka sekali menghakimi!
Bahkan Moxi pun sama saja ...
Saat pikiran yang sama merasukiku, aku merasa sangat
diperlakukan dengan salah sampai hidung berair, untuk sementara aku tak mampu
menenangkan diriku.
Aku mengelilingi bagian dalam pagoda dan menemukan sebuah
tangga masuk. Disana, terdapat sebuah mutiara malam yang bersinar menerangi
tangga sampai ke atas. Sepertinya ada sesuatu diatas sana – terlalu jauh karena
sinar yang temaram aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku menjadi penasaran. Berpikir
bahwa tidak ada yang bisa aku lakukan, perlahan aku menaiki tangga menuju ke
atas.
Begitu aku bisa melihat dengan lebih jelas di puncak
pagoda ... hah, sesaat rasanya aku ingin sekali tertawa lebar begitu aku
melihat siapa yang dikurung disana. Siming Xianjun (Dewa nasib) jelas sekali
menggemari tema opera sabunnya, iya tidak? Bukankah ini pendeta agung dari
kehidupan yang lalu?!
Meskipun saat ini matanya berwarna hijau—menyiratkan aura
yang dingin, meskipun rambutnya sekarang berwarna putih – memberikan getaran
yang aneh, bagaimanapun aku melihatnya, dia masih menganggapku monster yang
menakutkan. Tangan dan kakinya dibelenggu rantai besi, tubuhnya terbentang
diudara. Sangkar besi penuh kertas mantra memenjarakan tubuhnya. Jelas sekali
penjara yang paling aman.
Dia pastinya sangat ketakutan sekali ketika dia
ditangkap.
Di kehidupan masa lalu dia pemburu iblis, dikehidupan ini
dia justru jadi iblisnya. Ini yang aku sebut karma.
“Hey! Lama tak berjumpa! Aku melambaikan tanganku padanya
sambil mengucapkan salam.
“Siapa kau?” Dengan kaku dia mengucapkan kata-kata dengan
suaranya yang serak. Kelihatannya dia sudah berada disini untuk waktu yang
lama.
Aku tersenyum, “Aku Sansheng.”
Dia mengerutkan keningnya. “Apakah kita saling kenal?”
Aku meraba keningku dan berpikir. “Ya, bisa juga dibilang begitu.”
Tak ada pembicaraan lagi setelahnya. Aku bosan setengah
mati. Aku mendongak memandang puncak pagoda yang suasananya lebih terang
ketimbang disini, karena ada sebuah lubang dipuncaknya.
Aku pikir hal ini cukup aneh, melihatnya terikat disini
namun ada lubang persis dihadapannya. Apakah mereka (merujuk kepada para
pendeta) tidak takut kalau iblis akan menemukan jalan kabur? Atau apakah
pendeta gunung Liubo yakin sekali dengan kekuatan pagoda untuk memerangkap para
iblis sehingga mereka dengan yakin membuat jendela agar para iblis bisa
meratapi dunia luar dan mati dalam keadaan putus asa?
Sungguh terkutuk. Pendeta-pendeta ibi benar-benar sadis!
Aku masih sibuk membayangkan hal ini dalam pikiranku
ketika aku mendengar dia berkata: “Mundurlah.”
Untuk beberapa saat, aku tidak mengerti apa yang dia
maksud, namun dengan patuh aku menuruti perkataanya dan mundur ketempat yang
lebih gelap.
Segera aku melihta permukaan danau berpendar dengan
indah. Kemudian, sekilas cahaya matahari menyorot masuk melalui lubang diatap
pagoda dan jatuh tepat menyinari wajahnya, wajahnya yang menyeramkan sekarang
terlihat sangat jelas dibawah sinar yang terang sekali.
Kilasan wajah penuh derita sekarang terlihat jelas,
tersirat melalui matanya yang berwarna hijau.
Aku melihat dengan perasaan ngeri selagi kulitnya
perlahan membengkak. Begitu sinar matahari semakin terang, bengkak dikulitnya
juga semakin parah, dibeberapa bagian bahkan terkelupas mengeluarkan cairan
nanah.
Ekspresi wajahnya jelas menggambarkan derita yang teramat
sangat. Namun sekarang dia hanya bisa diam.
Aku sudah banyak melihat jenis hukuman namun pemandangan
ini tidak bisa tidak membuatku mual. Tak sanggup melihat hal ini lebih lama
lagi, aku melepaskan jubah luarku dan melemparkannya menutupi lubang. Sekarang terhalangi
kain, sinar yang masuk menjadi lebih redup.
Makan waktu satu setengah jam hingga akhirnya sinar
matahari menghilang dari dalam pagoda.
Baru aku mneyadari bahwa saat ini sedang siang bolong. Apakah
ini maksudnya bahwa pria ini terbakar setiap hari dibawah matahari?
“Urus urusanmu sendiri.” Pria itu berkata kepadaku.
Aku memutuskan untuk tidak bertengkar dengannya. “Berapa
lama kau sudah ditahan disini?”
Dia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat,
kemudian tertawa, masih dengan sikap acuh. “Mungkin sepuluh tahun, mungkin dua
puluh tahun. Siapa yang tau?”
Aku mendesah, turut merasakan sedih. Tetap saja, aku
penasaran dengan nasibnya dikehidupan ini. “Mengapa kau dikurung disini? Siapa yang
mengurungmu ditempat ini?”
Dia tetap memilih untuk diam dan tak mau bicara lagi. Setiap
mahkluk punya rahasia yang tidak ingin mereka bagi dengan orang lain, aku juga
tidak mendesaknya lebih jauh, dan lebih memilih untuk mengubah topik
pembicaraan ke hal lain dan bertanya, “Apakah kau ingin bebas dari tempat ini?”
“Untuk apa repot-repot menanyakan apa mauku? Semuanya Cuma
khayalan?”
Aku tersenyum jahil. “Bagaimana kalau aku punya cara
untuk mengeluarkanmu dari sini?”
Dia memandangku; sekilas cahaya berkelebat dimatanya yang
berwarna hijau.
“Baiklah, kau tidak terlihat seperti orang yang jahat
dimataku. Paling tidak kau cukup bermurah hati dengan mengingatkanku untuk
menjauh dari sinar matahari barusan. Aku tidak tau alasan kenapa kau dikurung
disini, tapi kau sudah cukup lama juga terkurung disini jadi aku pikir hukuman
apapun itu aku pikir sudah cukup. Karena kau dan aku bisa dianggap sebagai
kenalan, aku akan bersikap baik dan akan menyelamatkanmu sekarang, akan tetapi
aku tidak melakukannya dengan Cuma-Cuma. Karena kau berhutang padaku hari ini,
kau harus membalasnya di masa yang akan datang.”
“Dan balasan seperti apa yang kau mau?”
“Baru-baru ini ada beberapa anak bandel yang membuatku
marah, namun karena aku gadis yang baik hati, aku tak mau memukul mereka dengan
tanganku sendiri. Setelah kau bebas dari sini, kau harus memberikan mereka
sedikit pelajaran menggantikan diriku. Tidak perlu terlalu parah, cukup agar
mereka tidak bisa turun dari tempat tidur selama sebulan.” Aku memberikan
keterangan. “Oh ya, ada satu orang yang harus kau berikan sedikit perhatian
lebih, buat dia tidak bisa turun dari tempat tidur selama tiga bulan. Aku akan
memberikanmu keterangan lebih lanjut nanti ...”
_________________________________________________________________________
Pojok omelan ....
Sejak menyukai novel-novel dari negeri tirai bambu,
banyak sekali peribahasa baru yang aku temui. Ya, penulis-penulis dari negeri
Cina suka sekali memakai peribahasa dalam ceritanya, lambat laun satu dua
nempel juga dikepala karena sering baca.
Ada satu peribahasa yang aku sangat suka, bunyinya kurang
lebih begini What the eyes don’t see, the
heart don’t grief. Maknanya kurang lebih ya kalau kita tidak lihat langsung
dengan mata kepala sendiri, maka hati juga tidak kepikiran hehehe ....
Peribahasa ini cocok sekali dipakai kalau kita sedang bad mood, misalnya, pengen beli ini atau
itu tapi ga ada duit, nah bagusnya tinggal dirumah aja ga usah melalak nanti
malah kepikiran wkwkwkwk, atau ga usah buka hape liat-liat di online shop ntar malah cuma bisa ngiler kebawa mimpi hehe ...
____________________________________________________________________________
No comments:
Post a Comment