Tuesday 22 August 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 6

Chapter 6 : Zhonghua Yang Agung

Aku tak pernah tau bahwa lima puluh tahun bisa begitu menyiksa.

Setelah melewatkan masa hukumanku, aku berpamitan dengan Yanwang dan bereinkarnasi.
Kalau aku tidak segera pergi mencari Moxi, bagaimana kalau Moxi menambah hukuman lima puluh tahun lagi? Untuk alasan ini, aku akan menuruti kemauannya. Aku akan merayunya ketika dia sudah lemah dan tua. Aku dengar pria lebih mudah terpengaruh hal negatif diusia ini. Mereka sudah berhasil secara karir, keluarga yang mapan, mereka sudah menikmati segala hal yang perlu dinikmati, namun pada usia ini mereka sudah tidak banyak memiliki ketertarikan.

Kalau aku pergi menemuinya sekarang untuk memberikan sedikit kesenangan, upaya untuk merayu Moxi akan terasa lebih mudah dilakukan.

Bila dilihat dari sudut pandang ini semuanya terlihat mudah, namun hidup selalu penuh kejutan.
Aku menghabiskan waktu seratus tahun menunggu di dunia akhirat. Kegelapan yang menyelimuti diriku tidak lebih ringan dari sebelumnya. Karena aku baru saja tiba dari dunia akhirat, bau amis dari sungai Wangchuan masih segar. Tidak perlu waktu lama sebelum sekelompok pendeta tertarik atas kehadiranku seperti lalat yang tertarik kepada aroma daging busuk.

Era ini adalah masa dimana kegiatan memburu dan membunuh iblis dan penyihir berkembang pesat. Usia pendeta-pendeta ini masih sangat muda dan bahkan bila umur mereka semua ditambahkan kemudian dikalikan sepuluh, usiaku masih sangat jauh lebih tua. Namun demikian mereka sangat yakin akan kemampuan mereka...

Aku tidak terlalu mahir berurusan dengan anak-anak yang serius ini, jadi aku meniru nada suara Yanwang untuk menakut-nakuti mereka: “Enyahlah, atau aku akan merebus dan memakanmu”
“Sombong, idiot!” pemimpin muda mereka mengarahkan pedangnya di depanku. “Aku akan memusnahkanmu hari ini!” dia melolong.

Aku mengerutkan kening melihat anak muda ini, sungguh anak muda yang garang. Terlihat jelas dari tingkah lakunya kalau anak muda ini tidak diajari dengan benar. Aku menggelengkan kepala dan tak bisa menghindari untuk menyalahkan guru mereka dalam hati. Selagi aku berpikir bagaimana caranya meloloskan diri, teriakan seorang wanita terdengar dari kejauhan: “Changwu, segera kembali kesini sekarang juga.” Wanita itu mengenakan gaun berwarna putih, pita dirambutnya berkibar selagi tubuhnya melayang menuju kami seperti seorang peri yang turun ke bumi.

Aku memandangnya dengan takjub. Aku tak pernah membayangkan bahwa ada manusia yang begitu menawan di alam manusia ini. Namun aku belum selesai menikmati keelokannya ketika tiba-tiba dari tangannya seutas pita terbentang ke arahku dan melilit tubuhku dengan erat. 

Setelah beberapa saat aku berjuang melepaskan diri, aku mengetahui bahwa pita ini terbuat dari material yang unik.

Para pendeta muda itu bersorak kepada wanita itu, ‘guru besar’.

Guru besar...

Dengan anggun dia mengangguk, meminta mereka untuk bangkit, kemudian melangkah mendekatiku dan untuk beberapa saat memandangku dengan penuh selidik. “ Oh, ternyata iblis yang cantik.”
Aku tertawa. “Kau juga pendeta yang cantik.”

Dengan dingin wanita itu meringis. “Meskipun aku tak bisa melihat asal-usulmu, sekali kau terikat dengan pita sutraku, kau tak akan bisa lolos bagaimana pun hebatnya dirimu.”

Diam-diam aku berjuang untuk melepaskan diriku dari ikatan pita sutra dan sedikit menyadari bahwa aku tidak memiliki kemampuan sama sekali. Benda ini benar memang tali yang kuat. Namun kalau aku bersungguh-sungguh, ikatan ini tak akan mampu menahanku. Wanita muda ini terlalu yakin dengan kemampuannya.

“Bawa dia ke gunung Libo agar Maha guru yang agung bisa menanganinya.” Menyudahi kalimat ini dia berpamitan dengan para pendeta muda. “Meskipun aku sudah mengikat iblis ini, aku tak bisa menduga-duga kekuatannya. Kalian harus tetap waspada. Jangan biarkan dia menemukan cara untuk meloloskan diri. Aku masih punya keperluan untuk diselesaikan, jadi aku tidak bisa kembali bersama kalian.”

Pendeta-pendeta muda itu serentak mengiyakan.

Menimbang bahwa aku baru saja tiba disini, meskipun aku ingin sekali mencari tahu keberadaan Moxi, namun aku tidak tau harus mulai dari mana. Aku pikir ada baiknya ikut kemauan mereka saja. Dengan mereka tidak saja meminimalisasi gangguan dari penganut-penganut agama fanatik, aku juga bisa memanfaatkan waktu untuk mencari kabar tentang Moxi.

Pemuda-pemuda ‘imut’ ini ‘menggiring-ku’ pergi. Melihat mereka membuatku sangat merindukan Moxi. Diantara anak-anak ini, hanya ada satu anak yang masih terlihat seperti manusia biasa. Nama Dao-nya Chang’an – anak yang berwatak lembut, pemalu dan naif.

Anak ini sangat mengingatkanku dengan Moxi kecil dikehidupanku yang lalu.

Aku suka sekali memerhatikannya, namun setiap kali aku meliriknya, dia selalu ketakutan. Bingung, aku mencuri dengar bahwa anak ini takut bila suatu kali aku akan melepaskan diri dari ikatan dan akan menculiknya untuk menghirup yang dari tubuhnya untuk memperkaya yin-ku.(1)

Aku segera saja merasa kewalahan. Bukan saja karena aku adalah jiwa spiritual yang tidak perlu melakukan hal memalukan seperti itu, namun yang seperti apa yang bisa diperoleh dari anak seperti ini? Kalau memang aku perlu menghirup yang... orang yang pertama kali harus aku hirup adalah Moxi.

(1)   Kegelapan yang selalu Sansheng sebutkan adalah merujuk kepada yin, dimana yin adalah kegelapan sementara yang adalah cahaya. Namun yin dan yang adalah juga dualitas pria-wanita, dan meskipun hal ini menyangkut tentang jenis kelamin, namun bila ditinjau dari konteks Dao hubungan seksual dipercaya bisa menjaga keseimbangan dua kekuatan ini yang pada akhirnya akan memberikan kehidupan yang sehat.

Setelah tahu tentang hal ini, aku mencoba menahan diriku untuk tidak melihatnya dengan mata laparku.

Selama perjalanan, aku tak sengaja mendengar bahwa kaisar yang berkuasa adalah orang yang cukup taat. Penganut Dao tumbuh pesat dalam masyarakat dan banyak penganut Dao mengirimkan anak mereka untuk belajar di kuil. Tambahan lagi, gunung Libo jyang sedang kami tuju adalah salah satu kuil terkemuka.

Tujuan mereka adalah hidup kekal.

Ketika canak-anak ini menyebutkan hal ini, wajah mereka dipenuhi dengan rasa bangga, seolah-olah hanya dengan menjadi murid di gunung Libo mereka sudah mendapatkan keberkahan selama ratusan tahun. Sebaliknya, meskipun memang ada kaum mortal yang terbang ke angkasa hanya ada satu atau dua orang yang berhasil dalam kurun waktu ribuan tahun. Angka keberhasilannya sungguh sangat menyedihkan.

Kurcaci-kurcaci cilik ini berjalan sangat cepat, hanya dalam beberapa hari kami sampai ke gunung Liubo.

Aku tidak memperoleh informasi tentang Moxi selama dalam perjalanan dan merasa sedikit kecewa. Selagi aku mencari cara bagaimana untuk melepaskan diri dari ikatan pita sutra sebelum memasuki gunung Libo, aku melihat segel keemasan dipergelangan tanganku bereaksi.
Aku menjerit akibat sensasi terbakar dari pergelangan tanganku selagi merasakan kibasan energi luar biasa menyapu di atas kepala kami dan membuat rambutku berantakan.
Setelah merapikan rambutku yang berantakan dari wajahku, aku melihat semua pendeta muda yang bersamaku berlutut menatap ke satu arah dan berseru serempak: “Yang Agung!”
Ooh, jadi ini bos Liubo.

Aku melihat dengan teliti dan segera melonjak girang. Ini yang mereka sebut dengan “kenakan sepatumu” atau sesuatu seperti “hal yang datang tanpa usaha” atau apalah (2)

(2)   Sansheng mencoba menggunakan peribahasa Cina yaitu sepatu besi yang kau kenakan sudah rusak namun hal yang kau cari tidak kau dapatkan. Namun ketika kau tak mencari, malah hal itu datang sendiri.

Kenapa, bukankah ini Moxi?!

Saat ini, bagaimanapun, Moxi masih terlihat seperti masih dalam usia dua-puluhan atau tiga-puluhan. Dia tidak tua atau lemah sama sekali., dan tidak kelihatan seperti manusia yang sudah hidup lima puluh tahun di bumi. Namun muncul dalam benakku bahwa dia mencari kekekalan dalam hidup, jadi dia menggunakan sihir untuk menjadi kaum immortal. Meskipun dia belum menjadi sekelas malaikan, dengan mudah ia bisa mempertahankan usia mudanya.

Aku tertawa puas dalam hati. Moxi, Moxi, kau mencoba bersembunyi dariku namun langit lebih cerdik darimu. Mari lihat bagaimana lagi kau bisa bersembunyi dariku kali ini.

Selagi aku sibuk nyengir, tiga pedang mengeluarkan suara ‘whoosh’ tertuju ke arahku, aura ingin membunuh membuat tubuhku menggigil. Aku berhenti nyengir dan melihat Moxi dengan rasa terkejut.

Tiga pedang yang tertuju ke arahku tidak berasal dari Moxi, namun dari tiga orang pendeta beralis abu-abu dan berjenggot panjang yang ada dibelakangnya. Mereka menyeringai, menatapku dengan serius.

Dengan nada dingin Moxi berkata; “Benda apa ini yang muncul dari kegelapan?”
Aku menatap Moxi dengan terbodoh. Cara ia memandang ... sorot matanya .... sama seperti ketika dia memandang Shi Qianqian dihidup yang lalu.

Aku tidak tau namun aku tiba-tiba saja nerasa takut. Aku tidak pernah suka menjelaskan diriku kepada orang lain, namun saat ini aku harus menjelaskan diriku : “Meskipun kegelapan memang pekat dari diriku, aku benar-benar bukan seorang Iblis. Aku ruh dari sebuah batu. Namaku Sansheng.”

Pendeta dengan alis abu-abu dan jenggot panjang saling bertatapan dengan wajah bimbang, kemudian menoleh kepada Moxi.

“Kalau kau bukan dari kaum kami, maka kau jelas berbeda. Kau harus dienyahkan.” Dengan dingin Moxi mengumumkan.

Kata-katanya sangat meyakinkan sehingga membuatku sedih dan marah. Aku tak mengerti kenapa Moxi bisa bereinkarnasi menjadi manusia yang bodoh kali ini. Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, kibasan pedang sudah menerjang ke arahku, ikatan pita ditubuhku juga semakin erat.

Hatiku dipenuhi dengan marah. Selama ribuan tahun aku hidup, diluar masa-masa aku menyakiti diriku sendiri, tidak ada yang berani kurang ajar kepadaku. Dengan segera aku mengumpulkan kekuatanku agar aku bisa melawannya.

Kalau ia masih dewa perang, pilihaku satu-satunya adalah menanti kematian datang 
menjemputku. Namun dia yang sekarang hanyalah manusia yang sedang mencari kekekalan. Dia belum lagi memiliki kekuatan sihir lebih dari empat puluh tahun ditubuhnya. Meskipun kemampuannya sedikit lebih baik, dia tidak bisa menang melawanku tak peduli bagaimanapun hebatnya dia.

Kami belum bertarung lebih dari setengah jam namun wajah Moxi sudah pucat. Aku meragu apakah aku bisa mengambil kesempatan untuk menggunakan usia ribuan tahunku untuk menghajar dewa yang sedang menjalani ujian hidup. Baru saja aku berniat untuk berhenti menyerang ketika Moxi tiba-tiba saja memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya.
Terkejut, dengan segara aku menahan seranganku.

Apakah kekuatanku terlalu kuat sehingga aku tidak bisa mengontrolnya?

Aku tertegun.

Tiga pendeta berjenggot panjang berseru pada waktu bersamaan: “Yang agung Zhonghua!” dan bergegas menolong Moxi dan memeriksa denyut nadinya. Murid-murid Liubo juga mengelilinginya.

Aku tak khawatir kalau ia akan mati (meskipun bila dia mati aku juga tak keberatan). Jalannya memang sudah demikian. Takdir ‘bertemu melalui rasa benci’ belum lagi dimulai. Bila Moxi belum melewati ujian ini, dia tidak akan bisa bereinkarnasi lagi.

Pendeta-pendeta muda mengelilinginya dengan wajah cemas, sampai salah satu dari mereka berdiri. Aku mengenalinya, anak muda bernama Chang Wu. Dengan meyakinkan, dia melepaskan pedangnya dari sarungnya dan menudingkannya kepadaku sambil berteriak penuh kebencian: “Iblis perempuan, kau menyerang yang agung meskipun dia dalam keadaan terluka! Kau pantas mati!”

Seketika setelah dia berteriak, yang lainnya juga ikut mengamuk. Pendeta-pendeta muda lainnya juga melepaskan pedang mereka dari sarungnya dan mulai menyerangku. Bahkan yang paling penakut di antara mereka, Chang’an, mukanya merah menahan amarah. Ramai-ramai mereka berteriak dan mengatakan akan membunuhku untuk membasmi kejahatan dan mempertahankan kebaikan.

Aku benci melihat anak-anak mengerubutiku sambil merajuk minta gula-gula, dan meskipun keadaan saat ini jauh berbeda dengansituasi ketika anak-anak minta gula-gula, dimataku sama saja.

Dengan ini aku memutuskan untuk menyerah: “baiklah, baiklah! Lakukan yang kalian mau, lakukan yang kalian suka!”

Gerombolan ‘anak-anak’ itu menoleh ke kanan dan ke kiri, tak satupun berani mengambil keputusan. Pada akhirnya, seorang pendeta tua mengambil kesempatan dan berteriak: “Kurung dia di pagoda seribu gembok didasar danau sihir.

Terdapat sebuah danau di gunung Liubo, yang tidak terlalu luas namun terkenal dengan kedalaman airnya. Danau ini diselubungi mantra yang sangat kuat, oleh karena itu murid-murid di gunung liubo menyebutnya danau sihir. Pendeta-pendeta di gunung Liubo telah menghabiskan waktu ratusan tahun untuk membangun pagoda seribu gembok didasar danau yang dikhususkan untuk mengurung iblis berbahaya.

Aku berdiri ditepi danau dan menatap ke dasar danau. Sambil mengelus dagu aku berpikir. Benda ini memang tepat untuk mengurung iblis. Pertama, danau ini diselubungi oleh kekuatan yang sangat dahsyat, sehingga kekuatannya bisa memurnikan aura iblis. Kedua, pagoda ini ada didalam air! Bila seseorang tidak bisa bernafas, maka tak peduli seberapa kuatnya pun iblisnya, maka dia akan tersapu seperti mayat setelah terperangkap didalamnya.

Namun demikian, berbeda halnya dengan diriku dan ruh lainnya. Sari murni dari langit dan bumi merupakan aura yang tepat untuk tubuh dan pikiranku; tempat ini merupakan tempat yang tepat bagiku untuk bermeditasi. Aku tak mau repot-repot memberontak dan membiarkan ‘anak-anak’ itu memasang rantai dikakiku sebelum merapalkan mantra untuk menenggelamkanku ke dasar danau.

Pemandangan disekitar danau tidak terlalu buruk menurutku.

Setelah aku dijebloskan ke dalam pagoda, ‘anak-anak’ mulai meneriaki-ku dari seberang gerbang besi. Banyak kertas mantra didalam, mereka memberitahuku. Atau bila aku memaksa untuk kabur, aku akan berakhir mati mengenaskan. Tak memedulikan apapun, aku merobek sebuah kertas mantra dari sebuah tiang dan memainkannya dijariku.

Pagoda ini penjara untuk iblis; semua bangunannya diperuntukkan untuk menangani kekuatan iblis. Aku sudah bilang ribuan kali kalau aku bukan iblis. Bodoh, manusia bodoh yang suka sekali menghakimi!

Bahkan Moxi pun sama saja ...

Saat pikiran yang sama merasukiku, aku merasa sangat diperlakukan dengan salah sampai hidung berair, untuk sementara aku tak mampu menenangkan diriku.

Aku mengelilingi bagian dalam pagoda dan menemukan sebuah tangga masuk. Disana, terdapat sebuah mutiara malam yang bersinar menerangi tangga sampai ke atas. Sepertinya ada sesuatu diatas sana – terlalu jauh karena sinar yang temaram aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku menjadi penasaran. Berpikir bahwa tidak ada yang bisa aku lakukan, perlahan aku menaiki tangga menuju ke atas.

Begitu aku bisa melihat dengan lebih jelas di puncak pagoda ... hah, sesaat rasanya aku ingin sekali tertawa lebar begitu aku melihat siapa yang dikurung disana. Siming Xianjun (Dewa nasib) jelas sekali menggemari tema opera sabunnya, iya tidak? Bukankah ini pendeta agung dari kehidupan yang lalu?!

Meskipun saat ini matanya berwarna hijau—menyiratkan aura yang dingin, meskipun rambutnya sekarang berwarna putih – memberikan getaran yang aneh, bagaimanapun aku melihatnya, dia masih menganggapku monster yang menakutkan. Tangan dan kakinya dibelenggu rantai besi, tubuhnya terbentang diudara. Sangkar besi penuh kertas mantra memenjarakan tubuhnya. Jelas sekali penjara yang paling aman.

Dia pastinya sangat ketakutan sekali ketika dia ditangkap.

Di kehidupan masa lalu dia pemburu iblis, dikehidupan ini dia justru jadi iblisnya. Ini yang aku sebut karma.

“Hey! Lama tak berjumpa! Aku melambaikan tanganku padanya sambil mengucapkan salam.
“Siapa kau?” Dengan kaku dia mengucapkan kata-kata dengan suaranya yang serak. Kelihatannya dia sudah berada disini untuk waktu yang lama.

Aku tersenyum, “Aku Sansheng.”

Dia mengerutkan keningnya. “Apakah kita saling kenal?”

Aku meraba keningku dan berpikir. “Ya, bisa juga dibilang begitu.”

Tak ada pembicaraan lagi setelahnya. Aku bosan setengah mati. Aku mendongak memandang puncak pagoda yang suasananya lebih terang ketimbang disini, karena ada sebuah lubang dipuncaknya.

Aku pikir hal ini cukup aneh, melihatnya terikat disini namun ada lubang persis dihadapannya. Apakah mereka (merujuk kepada para pendeta) tidak takut kalau iblis akan menemukan jalan kabur? Atau apakah pendeta gunung Liubo yakin sekali dengan kekuatan pagoda untuk memerangkap para iblis sehingga mereka dengan yakin membuat jendela agar para iblis bisa meratapi dunia luar dan mati dalam keadaan putus asa?

Sungguh terkutuk. Pendeta-pendeta ibi benar-benar sadis!

Aku masih sibuk membayangkan hal ini dalam pikiranku ketika aku mendengar dia berkata: “Mundurlah.”

Untuk beberapa saat, aku tidak mengerti apa yang dia maksud, namun dengan patuh aku menuruti perkataanya dan mundur ketempat yang lebih gelap.

Segera aku melihta permukaan danau berpendar dengan indah. Kemudian, sekilas cahaya matahari menyorot masuk melalui lubang diatap pagoda dan jatuh tepat menyinari wajahnya, wajahnya yang menyeramkan sekarang terlihat sangat jelas dibawah sinar yang terang sekali.
Kilasan wajah penuh derita sekarang terlihat jelas, tersirat melalui matanya yang berwarna hijau.
Aku melihat dengan perasaan ngeri selagi kulitnya perlahan membengkak. Begitu sinar matahari semakin terang, bengkak dikulitnya juga semakin parah, dibeberapa bagian bahkan terkelupas mengeluarkan cairan nanah.

Ekspresi wajahnya jelas menggambarkan derita yang teramat sangat. Namun sekarang dia hanya bisa diam.

Aku sudah banyak melihat jenis hukuman namun pemandangan ini tidak bisa tidak membuatku mual. Tak sanggup melihat hal ini lebih lama lagi, aku melepaskan jubah luarku dan melemparkannya menutupi lubang. Sekarang terhalangi kain, sinar yang masuk menjadi lebih redup.

Makan waktu satu setengah jam hingga akhirnya sinar matahari menghilang dari dalam pagoda.
Baru aku mneyadari bahwa saat ini sedang siang bolong. Apakah ini maksudnya bahwa pria ini terbakar setiap hari dibawah matahari?

“Urus urusanmu sendiri.” Pria itu berkata kepadaku.

Aku memutuskan untuk tidak bertengkar dengannya. “Berapa lama kau sudah ditahan disini?”
Dia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, kemudian tertawa, masih dengan sikap acuh. “Mungkin sepuluh tahun, mungkin dua puluh tahun. Siapa yang tau?”

Aku mendesah, turut merasakan sedih. Tetap saja, aku penasaran dengan nasibnya dikehidupan ini. “Mengapa kau dikurung disini? Siapa yang mengurungmu ditempat ini?”

Dia tetap memilih untuk diam dan tak mau bicara lagi. Setiap mahkluk punya rahasia yang tidak ingin mereka bagi dengan orang lain, aku juga tidak mendesaknya lebih jauh, dan lebih memilih untuk mengubah topik pembicaraan ke hal lain dan bertanya, “Apakah kau ingin bebas dari tempat ini?”

“Untuk apa repot-repot menanyakan apa mauku? Semuanya Cuma khayalan?”

Aku tersenyum jahil. “Bagaimana kalau aku punya cara untuk mengeluarkanmu dari sini?”

Dia memandangku; sekilas cahaya berkelebat dimatanya yang berwarna hijau.

“Baiklah, kau tidak terlihat seperti orang yang jahat dimataku. Paling tidak kau cukup bermurah hati dengan mengingatkanku untuk menjauh dari sinar matahari barusan. Aku tidak tau alasan kenapa kau dikurung disini, tapi kau sudah cukup lama juga terkurung disini jadi aku pikir hukuman apapun itu aku pikir sudah cukup. Karena kau dan aku bisa dianggap sebagai kenalan, aku akan bersikap baik dan akan menyelamatkanmu sekarang, akan tetapi aku tidak melakukannya dengan Cuma-Cuma. Karena kau berhutang padaku hari ini, kau harus membalasnya di masa yang akan datang.”

“Dan balasan seperti apa yang kau mau?”

“Baru-baru ini ada beberapa anak bandel yang membuatku marah, namun karena aku gadis yang baik hati, aku tak mau memukul mereka dengan tanganku sendiri. Setelah kau bebas dari sini, kau harus memberikan mereka sedikit pelajaran menggantikan diriku. Tidak perlu terlalu parah, cukup agar mereka tidak bisa turun dari tempat tidur selama sebulan.” Aku memberikan keterangan. “Oh ya, ada satu orang yang harus kau berikan sedikit perhatian lebih, buat dia tidak bisa turun dari tempat tidur selama tiga bulan. Aku akan memberikanmu keterangan lebih lanjut nanti ...”


  _________________________________________________________________________
Pojok omelan ....

Sejak menyukai novel-novel dari negeri tirai bambu, banyak sekali peribahasa baru yang aku temui. Ya, penulis-penulis dari negeri Cina suka sekali memakai peribahasa dalam ceritanya, lambat laun satu dua nempel juga dikepala karena sering baca.
Ada satu peribahasa yang aku sangat suka, bunyinya kurang lebih begini What the eyes don’t see, the heart don’t grief. Maknanya kurang lebih ya kalau kita tidak lihat langsung dengan mata kepala sendiri, maka hati juga tidak kepikiran hehehe ....
Peribahasa ini cocok sekali dipakai kalau kita sedang bad mood, misalnya, pengen beli ini atau itu tapi ga ada duit, nah bagusnya tinggal dirumah aja ga usah melalak nanti malah kepikiran wkwkwkwk, atau ga usah buka hape liat-liat di online shop ntar malah cuma bisa  ngiler kebawa mimpi hehe ...
____________________________________________________________________________


  

No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...