Sunday 6 August 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 4

Chapter 4 : Moxi, semoga hidupmu selalu damai

Moxi tergesa-gesa pulang di sore hari.

Aku sedang berbaring diatas dipan sambil membaca buku, aku sejenak meliriknya masuk dan kembali membaca bukuku. Dia berdiri di depan pintu untuk sesaat sebelum bergegas mendekatiku. Dia duduk diujung dipan, menimbang-nimbang, lalu berkata, “Aku dengar prajurit datang hari ini.”

“ya.”

“Sancheng...”

Aku melempar menyingkirkan buku yang sedang kubaca, duduk, dan menatap langsung kematanya. “Apa yang ingin kau tanyakan kepadaku?”

Dia membuka mulutnya namun mengurungkan niatnya untuk bicara.

“Aku yang memukuli para prajurit itu,” aku memberitahunya. “Aku juga yang mengusir Shi Qianqian.”

Sejenak dia memandangiku, dan pada akhirnya tersenyum putus asa.

Aku mengangkat alisku dan berkata, “Apa? Jadi kau ingin menikahi putri jenderal? Oh, kalau begitu aku telah berbuat salah; aku merusak rencana pernikahan kalian. Kalau kejadian ini membuatmu sedih, aku akan pergi mencari gadis itu dan membawanya kembali. Dia kelihatannya tergila-gila kepadamu. “ aku berjalan keluar setelah aku selesai berbicara.

Dia menarikku kembali, wajahnya terlihat bersemu merah. “Sansheng, kau tau itu bukan maksudku. Aku sebenarnya sangat merasa senang bahwa kau ... bahwa kau merasa cemburu kepadaku. Hanya saja ...”

“Hanya saja apa?”

“Prajurit-prajurit itu bilang kau adalah Iblis. Mereka berkeras untuk memanggil pendeta istana kesini esok hari ini untuk melakukan upacara pengusiran setan.”

“Pendeta kerajaan?” Aku teringat wajah kaku itu kemarin dilorong.

Moxi mengangguk. “Sansheng, apa kau perlu bersembunyi?”

“Bersembunyi?” Aku bertanya dengan heran. “Mengapa aku harus bersembunyi? Aku bukan Iblis.” Namun melihat ekspresi cemas di wajah Moxi, aku akhirnya paham. “Moxi, apakah kau berpikir aku ini Iblis? Kau ingin aku bersembunyi karena kau takut pendeta istana akan membuka samaran ‘iblis’-ku?”

Moxi mengerutkan dahinya.

Aku menganggukkan kepalaku dan bergumam lebih kepada diriku sendiri: “Aku pikir benar begitu adanya. Aku tinggal bersamamu sudah bertahun-tahun namun penampilanku tidak berubah sedikit pun. Ketika aku ingin menyalakan api, maka api akan menyala; ketika aku ingin angin, maka angin akan datang. Sangat masuk akal kalau kau juga berpikir aku ini iblis. Saat ini, kau pasti merasa takut kepadaku kan?”

Setelah mendengar kata-kataku, seketika wajah Moxi berubah: jejak amarah yang sangat jarang terjadi. “Mengapa aku harus takut kepadamu?! Memang kenapa kalau kau ini iblis? Aku hanya tau bahwa Sansheng tidak pernah membahayakan hidupku. Aku bukan orang yang tanpa perasaan. Aku tau betul bagaimana setiap orang didunia ini memperlakukanku! Belum lagi, kau bukan iblis jahat sama sekali, dan bahkan jika pun itu benar, aku mencintaimu dan akan mencintaimu seumur hidupku!”

Kata ‘cinta’ membuatku hatiku bahagia. Bibirku tidak bisa tidak tersenyum.

Moxi biasanya pria yang berhati hangat. Belum lagi kukatakan, dia selalu berlaku sangat lembut kepadaku. Aku sangat jarang melihatnya marah sehingga Moxi yang sekarang aku lihat sedikit aneh. “Kalau begitu apa yang kau takutkan?”

Wajahnya menegang. Pikiran yang aku utarakan membuatnya tidak nyaman. Dia diam sejenak, dan kemudian dia mendesah, “Sansheng, aku takut kau akan dilukai.”

Aku tertawa geli setelah mendengarnya, “Apakah kau ingat kejadian dipekarangan  rumah si gendut Wang?”

Dia melirik ke arahku: “Tak seujung rumput pun tertinggal.”

Aku mengangguk puas. “Tak mengapa diganggu asal aku bisa balas mengganggu. Istrimu ini bisa menerima apa saja asal jangan dilukai. Tak ada yang perlu kau cemaskan.”

Sedikit lega karena bujukanku, Moxi tak mengatakan apa-apa lagi.

Sore hari ketika kami mau membersihkan diri, aku melihat sebuah lubang kecil di lengan bajunya. Aku terkesiap dan bertanya, “Apa yang terjadi?”

Moxi menyembunyikan lengannya. “Bukan apa-apa. Aku hanya sedikit berselisih dengan prajurit hari ini dan bajuku tersangkut diujung senjata mereka, itu saja.”

Aku mengulurkan tanganku: : “berikan jubahmu padaku. Aku akan menjahit lubangnya.”

Dibawah sinar lilin, aku menjahit lubang dijubah Moxi dengan teliti. Moxi duduk disampingku, memiringkan kepalanya sembari memerhatikan gerakanku. Seulas senyum tersampir dibibirnya seolah-olah dengan melihatku menjahit memberikannya kebahagiaan.

“Selesai.” Aku mengembalikan jubahnya. Melihatnya puas, sambil lalu aku bertanya kepadanya, 

“Apakah kaisar yang berkuasa saat ini seorang yang bijaksana?’

Moxi mmenerima jubahnya dan menjawab, “Dia penguasa yang sangat bijaksana.”

Aku mengangguk. “Kalau begitu bagaimana dengan jenderal besar yang menguasai militer – apakah dia juga orang yang bijaksana?”

Moxi mengertukan dahinya. “Kalau kita bicara soal memimpin pasukan, jelas dia adalah orang yang mampu. Namun demikian, kita soal sifat haus darah yang dia miliki, perdamaian dalam negeri tidak akan kita capai.”

Aku mengangguk lagi. “Kalau dia disingkirkan, apakah kehidupan masyarakat bisa lebih baik?”
“Tanpa pengawasan jenderal besar, kaisar akan lebih mudah menjalankan reformasi, dan kehidupan masyarkat sudah jelas semakin membaik.” Moxi memandangku dengan heran. “Sansheng, sejak kapan kau jadi tertarik dengan hal semacam ini?”

“Kalau ada cara untuk menyingkirkan jenderal besar ini demi kepentingan masyarakat, apakah kau akan bahagia?”

Mata Moxi bersinar, namun dengan segera dia mengalihkan pandangannya untuk menyembunyikan sinar dimatanya. “Tentu saja aku akan senang.”

Aku mengangguk lagi. “Sudah malam. Kau masih punya banyak pekerjaan besok, tidurlah.”

Setelah sinar lilin dimatikan dikamar Moxi, aku tetap duduk ditempat tidur, mataku terbuka lebar memandang sinar bulan melalui jendela yang terbuka.”

Mengapa Moxi berseteru dengan seseorang tanpa ada alasan? Aku menghubungkan semua kejadian yang telah terjadi dan pada akhirnya aku mengerti. Dia pasti mendengar seseorang menyebutku iblis, dan ketika dia mendengar pendeta istana akan datang kesini besok untuk melakukan ‘pengusiran setan’ kepadaku, dia menjadi marah dan terlibat perkelahian.

Moxi adalah orang yang toleran, dan lagipula dia belum lama menjadi pejabat. Selain menyukainya, kaisar belum lagi memberikannya posisi yang jelas. Untuk saat ini, yang jelas Moxi pasti dalam posisi yang tidak menguntungkan.

Dengan bersitegang dengan orang-orang jenderal besar hari ini, aku tak sengaja menyeret Moxi menuju badai.

Memang benar aku tidak sama seperti orang lain. Besok bila pendeta istana datang, dan apabila pendeta itu akan berbicara seperti “kegelapan mengikutimu” atau “kau bukan mahkluk dari dunia ini”, maka Moxi hanya perlu berpamitan dengan cita-citanya dan pergi ...

Tak perduli apa pun yang aku pilih, aku harus memastikan Moxi tidak terlibat.

Aku membayangkan sinar kebahagiaan di mata Moxi ketika dia bicara soal cita-citanya. Aku merapalkan mantra menghilangkan tubuh sebelum masuk ke kamar Moxi. “Kau yang telah memberikan tiga janji kehidupan kepadaku,” Aku berkata sambil menatap wajah Moxi yang sudah terlelap, “Jadi tidak masalah kalau aku menggunakan hidupku untuk membantumu melewati ujian takdirmu. Dan karena aku adalah istrimu dalam kehidupan ini, aku harus memberikan dukungan penuh untuk membantu apapun yang suamiku inginkan.”

Aku duduk ditepi tempat tidurnya, merunduk, dan memberikan kecupan ringan dibibirnya. “Moxi, semoga kedamaian selalu bersamamu.”

Pagi hari berikutnya, sebuah dekrit dikeluarkan untuk memanggil Moxi ke istana. Dia berulangkali mengingatkanku bila pendeta istana datang, aku harus bersembunyi sampai dia pulang. Aku berjanji mendengarkannya.

Tak lama setelah dia pergi, seorang pendeta dengan aura kuat datang ke rumah. Pendeta istana ini masih sangat muda kalau dilihat dari penampilan luarnya.

“Kau benar-benar pemberani datang ke ibukota setelah emmbunuh Abbot Kongchen.”

Kalimat ini yang kudengar pertama kali keluar dari mulut pendeta itu setibanya dia dirumah. Aku tertegun untuk waktu yang cukup lama terkait orang yang bernama Abbot Kongchen hingga pada akhirnya aku paham bahwa orang yang dia maksud adalah pendeta yang memburuku selama sembilan tahun. “Itu tidak benar. Dia mati karena usia tua; tidak ada hubungannya denganku. Aku bukan iblis, dan aku tidak boleh membunuh manusia.”

Pendeta istana mencemooh. “Kegelapan menyelimutimu. Kalau kau bukan iblis, lalu beritahu aku, kau ini apa?”

Kalau aku menjawab kalau aku adalah ruh batu dipinggir sungai Wangchuan, aku sangat yakin kalau dia akan menganggapku adalah hantu. Aku menimbang-nimbang sejenak dan bertanya, “Mengapa engkau begitu yakin kalau aku iblis?”

“Kita akan mengetahui kau ini iblis atau bukan setelah aku bersamadhi untuk me;nemukan kebenaran.”

Aku berpikir sejenak dan kemudian mengangguk setuju. “Baiklah, tapi kau harus melakukannya ditengah-tengah keramaian dan membakarku di atas panggung. Biarkan orang melihatnya. Kalau aku terbakar nantinya, terbukti kalau aku bukanlah iblis, dan kau sebagai pendeta istana harus mengumumkan ke khalayak kalau aku bukanlah iblis seperti yang dituduhkan dan kau telah membunuh orang yang salah.”

Dia terhenyak mendengar pernyataanku. Lama kemudian, dia berkata, “sebaiknya tidak ada penipuan disini!”

“Hey, kau pria yang beragama, bagaimana kau bisa punya pikiran tidak baik sepeti itu? Baiklah, baiklah, aku sedang buru-buru. Cepat seret dan bakar aku.”

Dengan tergesa-gesa aku berjalan keluar. Sebaliknya, pendeta itu tetap berdiri diam ditempatnya. Aku mengerutkan dahi keheranan, kembali, dan menarik lengannya: “Mengapa kau menjadi pengecut seperti perempuan? Kau tidak sebimbang ini ketika biksu tua itu memintamu membantunya untuk membunuhku.”

Ketika kami sampai digerbang pusat pasar, prajurit sudah menyiapkan arena panggung. Wajah para prajurit ini sepertinya pernah aku lihat; aku menyimpulkan kalau mereka pasti orang-orang dari jenderal besar. Mereka menjadi sedikit tegang begitu melihat keadaanku yang sama sekali tidak terluka, dan mereka justru melihat aku menyeret lengan ;pendeta istana. Aku berbalik dan melompat ke atas panggung, dengan gerakan elegan dan berwibawa, membuat orang-orang yang melihat terpana.

Aku mengikat tubuhku dengan tali, melambai ke pendeta dibawah dan berteriak, “Hey, aku sudah siap!’

Pendeta istana tidak bergerak dari temaptnya namun menyeringai ke arahku. Aku juga hanya melihatnya menatapku.

Tiba-tiba, seroang perempuan muncul dari kerumunan. Perempuan itu adalah perempuan yang menemani Shi Qianqian mendatangi rumahku untuk memancing keributan kemarin.

Dia berteriak begitu dia melihatku: “Itu dia! Dia itu iblis! Dia telah menyihir penasihat dan bahkan melukai nona muda kami. Sangat jahat sampai nona muda kami belum sadar dampai saat ini. Tuanku, kau harus melenyapkan monster ini. Kita harus mengenyahkan bibit-bibik setan!” Dia menarik lengan baju pendeta sambil menangis, meratap dengan hebat sampai-sampai orang lain juga meneteskan air mata. Kalau saja orang yang dia tuding bukan aku, aku takut aku pasti juga akan menitikkan air mata.

Mata pendeta istana nampak membeku sambil menyingkirkan tangan perempuan itu dari lengan bajunya dan dengan dingin bertanya kepadaku, “Apakah kau tidak ingin memberikan pernyataan untuk membela dirimu?’

“Aku bukan iblis,” aku menghela nafas.

Sebuah telur mendarat ditubuhku. Seorang anak kecil berpakaian mewah berjalan mendekatiku sambil melemparkan telur berikutnya. “Kau mengganggu saudara perempuanku! Kau orang jahat! Kau bahkan mencuri kekasihnya! Saudara Moxi jelas-jelas menyukai saudara perempuanku! Semuanya karena kau!”

Alisku semakin bertaut sembari menatap dua buah telur yang dilempar ke pakaianku. Namun yang jelas-jelas menggangguku adalah kata-kata yang dilontarkan anak itu. Aku meringis dan menggerakkan ujung jariku, mengangkat bajingan kecil itu ke udara. “Hey nak, saudara perempuanmu menyukai Moxi, tapi Moxi menyukaiku.”

Anak itu berjempalitan diudara. Perempuan paruh baya itu semakin meratap dengan suara keras selagi berteriak: “Dasar rubah, jangan berani-berani kau melukai tuan muda kami! Orang-orang disekeliling juga semakin riuh.

“jangan melukai orang lain!” Pendeta istana dengan tegas berteriak. Ikatan ditubuhkku semakin ketat, kekuatan hilang dari ujung jariku, dan bajingan kecil itu terbebas dan langsung ditangkap oleh perempuan paruh baya itu.

Selanjutnya, sensasi terbakar menyelimutiku dimulai dari ujung kaki.

Api samadhi.

Manusia ini benar-benar telah menguasai api samadhi. Lawan yang sulit dihadapi.

Kenyataannya, aku takut api. Sangat sedikit mahkluk dari dunia akhirat yang tidak takut api. Kalau seseorang ingin membedakan antara iblis dengan ruh spiritual, menggunakan api adalah metode yang paling tepat. Iblis akan menyisakan bola transparan setelah dibakar, namun ruh dan manusia tidak akan meninggalkan jejak apa-apa.

Aku tidak takut mati, karena dilihat dari sisi mana saja, aku tidak pernah hidup. Tempat asalku adalah sungai pelupaan didunia antah berantah. Aku, sebenarnya, justru lahir dari tanah kematian.

Kobaran api membuatku sangat sakit. Di antara pikiranku yang mulai melayang, aku melihat kawan-kawan lamaku. Mereka mengambang di udara sambil menatap diriku yang dalam kobaran api. Aku ingin menyapa mereka, namun aku sangat kesakitan hingga tidak bisa berbuat apa-apa.

Aku tidak tau berapa lama hal ini berlangsung. Selagi perasaan terbakar perlahan lenyap, penjaga khitam dan putih melambaikan tangannya dan memanggilku ke sisi mereka. Aku sudah lama tidak merasa seringan ini.

“Haha!’ Penjaga hitam tertawa sambil menepuk bahuku. “Aku sudah melihat begitu banyak cara untuk mati, namun melihatmu terbakar dalam kobaran api membuat kami terkejut.”

Wajahnya menggambarkan kesenangan sehingga membuatku tak sanggup mengatakan apa-apa. Aku hanya menagkupkan kedua telapak tangan didepan dadaku dan memberikan penghormatan kepada mereka, melemparkan beberapa kalimat menyenangkan berbalik dan melihat ke bawah. Penonton dan perempuan paruh baya itu sedang berseru gembira menyemangati sambil menyerukan nama pendeta istana. Sedangkan si pendeta, dia sudah naik ke panggung, matanya mencari-cari sesuatu diantara debu dan perlahan wajahnya pucat.

“Mari pergi, ikutlah bersamaku dan beritahukan bagaimana hidupmu di dunia.”

“Sebentar, tunggu aku sebentar saja. Aku...aku masih punya satu pekerjaan yang perlu kuselesaikan.”
Mereka saling bertukar pandang. Penjaga putih bertanya, “Dewa perang?”

Aku mengangguk.

“Kembali dengan segera.”

Aura keluarga kerajaan masih sama kuatnya. Beruntungnya, aku sekarang sudah menjadi ruh spiritual, dan menjadi lebih mudah bagiku untuk masuk ke istana.

Ketika aku merasakan keberadaan Moxi, dia sedang berdiri dihadapan kaisar.

“Aku berharap kaisar bisa melindungi istriku dan menjamin keselamatannya,” dia berkata sambil membungkuk.

Kaisar menyesap seteguk tehnya sebelum menjawab : “ Wanita akan tetap seperti itu.”

“Yang mulia, Sansheng adalah hati dan jiwaku, dan sudah pasti dia hidupku.”

Kehangatan memenuhi hatiku. Aku mendarat disisinya dan memeluknya dari belakang. “Moxi, aku sungguh beruntung telah bertemu denganmu.”

Moxi tanpa sadar terkejut. Dia menoleh ke belakang, pandangannya menembus melewatiku dan berakhir ke tempat yang aku tidak tahu dimana.

Seolah dia merasakan sesuatu. Tanpa pamit kepada kaisar Moxi bergegas keluar.

“Tidak sopan!” Seorang kasim yang ada disisi kaisar berteriak. Kaisar mengibaskan tangannya untuk menghentikan si kasim dan Moxi berlari menyusuri jalanan dalam istana.

Aku mengikutinya sepanjang jalan.

Pertama-tama dia pulang ke rumah. Ketika dia melihat rumah dalam keadaan kosong, wajahnya menjadi pucat pasi seperti kertas. Dia brdiri mematung untuk beberapa saat, kemudia dia berlari keluar. Setelah berhenti dan bertanya kepada beberapa orang yang dia temui dijalan, akhirnya dia berjalan dengan gontai ke pusat pasar.

Pada saat ini, pendeta istana sedang berdiri di atas panggung, tangannya menggenggam setumpuk abu dan dengan tenang dia mengumumkan, “Dengan namaku sebagai pendeta istana, aku mengumumkan bahwa perempuan yang bernama Sansheng jelas, dan nyata, bukanlah iblis.”

Riuh teriakan yang tadinya kudengar perlahan hilang. Yang kulihat hanyalah tatapan mata Moxi yang kosong sembari dia terlonjak mundur.

Aku bergerak mendekatinya untuk menopang tubuhnya, namun tanganku tidak bisa menyentuhnya.
Aku mendesah.

“Sansheng...” dia membisikkan namaku dengan kesedihan yang tidak bisa diungkapkan.

“Ya.” Aku menjawab, namun aku segera sadar kalau dia tidak akan bisa mendengar atau melihatku lagi.

“Sansheng.”

“Aku disini.”

Tapi aku tidak ada; aku tidak ada lagi didalam matanya.

Sama seperti Sansheng tidak ada lagi dalam hidup Moxi.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------
gaaaaahhhh..... where is my tissue .... sniff sniff .....

------------------------------------------------------------------------------------------------------------






No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...