Wednesday 23 August 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 7

Chapter 7 : Pagoda seribu-gembok sudah runtuh

Dalam reinkarnasi kali ini, pendeta agung adalah jelmaan dari seekor iblis serigala bernama Hu’yi.
Meloncat naik dan turun, aku merobek semua kertas mantra yang ada ditubuhnya, dia menatap semua hal yang kulakukan dengan tampang terpana.

“Secara manusiawi ini tidak mungkin?” tanyanya.

Aku memainkan rambutku, melambaikan tanganku untuk membebaskan borgol ditubuhnya, dan sambil tergelak aku menjawab: “Oh, bisa dibilang aku kan bukan manusia.”

Borgol ditubuhnya putus dalam beberapa bagian dan jatuh dilantai pagoda. Hu’yi mengambang diudara, rambutnya yang berwarna putih tergerai dan matanya yang berwana hijau berkilau. Aku tak memusingkan bagaimana suasana hatinya yang pasti dipenuhi dengan kebahagiaan. Aku menjentikkan jariku sambil berkata padanya, “lakukan saja seperti yang aku minta barusan dan kau bisa bebas pergi kemana saja. Ayo!”

Namun Hu’yi diam untuk beberapa saat. “Sekali seseorang masuk ke dalam pagoda seribu-gembok gunung Liubo, maka dia tidak akan bisa keluar lagi.”

“Tidak bisa keluar?” aku melihatnya dengan tidak yakin. “Aku belum lama tinggal di dunia manusia, namun paling tidak aku tau bahwa kita tidak bisa memaksa seseorang untuk menjual dirinya. Hanya boleh masuk tapi tak  boleh keluar sungguh hal yang tidak diperbolehkan, buruk sekali. Tidakkah menurutmu pendeta-pendeta gunung Liubo keterlaluan?”

“Memang kenapa kalau hal ini konyol?” di dunia ini, yang paling kuatlah yang menentukan.
“Aku suka kalimat ini.” Aku tertawa. “Baiklah, kita hancurkan saja pagoda ini, bolehkah?”
Dia memandangku kaget.

Aku menyeringai dari ujung telinga kiri sampai ke kanan: “Tadi kan kau bilang yang paling kuatlah yang menentukan?”

Jauh di masa yang akan datang, Yanwang sangat bersemangat ketika bicara tentang hal ini.  “Kau benar-benar punya watak yang keras, iya kan? Sekali kau bilang akan menghancurkan danau sihir dan pagoda seribu-gembok maka kau segera mewujudkannya begitu saja, sampa membuat danau dipenuhi dengan kegelapan sama dengan sungai Wangchuan. Apakah kau tau berapa banyak hukuman yang Tuan Moxi tanggung untukmu? Karena ini, kehidupannya yang akan datang semakin sulit dilalui.”

Namun ketika itu aku tidak tau konsekuensi perbuatanku dimasa depan. Dengan mengandalkan kekuatanku, aku membuat kerusakan diseluruh danau.

Sekeliling gunung Liubo bergoncang malam itu, murid-murid gunung Liubo terbangun dari tidurnya. Dan kemudian ... anak-anak gunung Liubo dipukuli dampai menangis sepanjang malam.
Tangisan hilang dan timbul tak berkesudahan.

Di suatu tempat tersembunyi, ketika Hu’yi menjalankan misinya, aku tertawa terbahak-bahak sambil berusaha menutupi mulutku. Ketika kami menemukan Chang Wu, aku menepuk bahu kiri Hu’yi: ‘tiga bulan! Tiga!”

Hu’yi mengerti maksudku, menerjang Chang Wu, menurunkan celananya didepan semua orang dan memberikannya dua pukulan di bokong. Bokong Chang wu bengkak cukup parah. Anak yang biasanya kejam ini sekarang ketakutan setengah mati. Hanya ketika sakitnya terasa barulah air matanya berlinang bersamaan dengan ratapannya yang melengking.

Aku menonton dengan senang hati namun sedikit merasa bersalah pada akhirnya. Aku menendang bokongnya yang sudah bengkak dua tendangan sebelum mengibaskan tanganku kepada Hu’yi agar dia melepaskan Chang Wu.

Hu’yi mengerucutkan bibirnya.

“Apa?”

“Kau baru saja membuat anak itu tidak bisa turun dari tempat tidur selama enam bulan.”

“Ooops!” Aku menutup mulutku dengan kaget. “Apakah aku menendang terlalu kuat?”

Dia menoleh kepadaku. “Menurutmu?’

Aku menggaruk kepalaku dan tertawa tak bisa berkata-kata lagi.

Ketika dia melihat satu anak yang belum dipukul merunduk dan menangis di salah satu pojok, Hu’yi berbalik dan manarik bajunya. Dengan cepat aku menahan Hu’yi. “Jangan dipukul ...” anak ini.

Aku belum menyelesaikan kalimatku ketika sebuah guntur terlihat diangkasa. Hu’yi dan aku terlonjak, sama-sama memandang ke langit.

Pendar di pergelangan tanganku segera memberitau siapa yang datang.

Sudah jelas Moxi, atau yang agung Zonghua sebagaimana ia disebut dalam kehidupan kali ini.

Dia meringis melihat ‘anak-anak’ terkapar disekeliling halaman sambil menangis memegangi bokong mereka. Matanya menerawang melihatku dan berakhir ke Hu’yi. Rambut ditengkukku meremang kala kulihat mereka saling bertatap mata.

Dibelakang Moxi segera menyusul bayangan-bayangan para tetua gunung Liubo.

Wajah-wajah mereka nampak sangat tegang melihat kondisi murid-murid mereka yang menangis dimana-mana. Ketika pandangan mereka tiba kepadaku dan Hu’yi, wajah mereka semakin tegang. Situasi berubah semakin kisruh.

Suara-suara mereka membuatku senewen. Aku berkata kepada Hu’yi, “Aku akan memenuhi janjiku. Karena kau telah membantuku membalaskan dendamku, aku akan membantumu untuk melarikan diri. Sudah jelas bagiku bahwa kau tidak suka berada disini. Pergilah, kemana pun kau suka.”
Belum lagi Hu’yi memberikan respon, seorang pendeta tua dengan jenggot berwarna putih berdiri sambil mengacungkan telunjuknya sambil menyumpah: “Kau pikir gunung Liubo tempat kau bisa datang dan pergi sesukamu?! Iblis Hu’yi! Yang Agung sudah mengampuni kesalahanmu dan masih mempertimbangkan ikatan di masa lalu, tapi mengapa kau melakukan hal yang menghina gunung Liubo seperti ini?”

Aku menyimpulkan beberapa hal dari perkataan pendeta tua itu. Pertama, Hu’yi kenal dengan Moxi di masa lalu; kedua, Hu’yi mungkin dikurung di pagoda oleh Moxi; ketiga ... meskipun sangat membenci iblis, Moxi tidak membunuh Hu’yi. Pasti ada kisah yang tidak aku tahu dibalik semua ini!
Aku menyilangkan tanganku didepan dada dan berdiri memerhatikan disatu sisi, melihat semua kejadian yang berlangsung. Sayangnya tidak ada tempat duduk, tidak ada makanan atau makanan ringan. Mengurangi rasa senangku.

Hu’yi mencemooh: “Aku tak pernah minta kepada Yang Agung untuk membiarkanku hidup selama akau dikurung seumur hidup. Aku lebih suka mati dan hidup kembali agar aku bisa bebas dari kehidupan yang seperti neraka ini.”

Dengarlah, dengar.

“Iblis yang tidak tau berterimakasih!” selesai  berteriak, pendeta tua itu menarik pedangnya dari sarung dan menerjang Hu’yi.

Aku-lah yang telah membebaskan Hu’yi, namun Hu’yi belum juga bisa pergi. Ini sama saja seperti menjanjikan sesuatu kepada pelanggan tapi barangnya tidak ada. Kalau barangnya tidak ada, maka perjanjiannya batal. Aku adalah orang yang berintegritas, tentu saja aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi.

Aku menarik Hu’yi ke belakangku dan balik menerjang ke arah pendeta tua. Aku menyadari kalau Hu’yi terus berada didekatku lama-lama dia akan hanya menghambat gerakanku. Aku harus membiarkannya pergi secepat mungkin. Merenggut kerah baju Hu’yi, aku melemparkannya ke udara sambil berkata: “Pergilah!”

Kekuatan kegelapan yang aku kerahkan menghantam punggungnya dan dengan segera membuat tubuhnya melayang jauh; kemana aku juga tak tau ...

Beberapa pendeta yang kelihatannya berilmu tinggi berusaha mengejarnya. Aku memusatkan seluruh kekuatanku dan berteriak. Gelombang kegelapan menyebar, memaksa mereka untuk menutupi kepala mereka sambil meringis kesakitan. “Kalau kau ingin menangkapnya, pilih hari lain,” Aku berkata, “Aku sudah membuat perjanjian dengannya hari ini dan bertekad untuk memegang kata-kataku. Aku harus menjamin keselamatannya untuk menjaga nama baikku.”

“Pelacur, hentikan bualanmu!”

Aku nyengir lebar memandang si pendeta tua. “Apakah aku membual atau tidak, mengapa kau tidak membuktikannya sendiri ?!”

Sikapku semakin membuat si tua bangka itu semakin marah sampai seolah-olah telinganya mengeluarkan asap, sambil menghunus pedangnya dia datang menerjang. Sementara, di kejauhan terdengar suara-suara panik: “Guru! Guru!” seorang murid Liubo berlari secepat angin.
“Yang Agung! Guur! Pagoda seribu-gembol ... Pagoda seribu-gembok sudah runtuh!”
Alisku naik sambil menonton wajah-wajah mereka dengan aneka ekspresi. Setelah cukup lama, mata-mata mereka yang mengandung kengerian memandangku.


Aku mengedipkan mata beberapa kali, mengangkat pundakku dan berkata, “Aku bersumpah aku tidak mengira kalau pagoda itu agak ringkih. Yang aku lakukan cuma memberikan sedikit colekan...” Tatapan mata mereka membuatku sedikit kurang nyaman hingga aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal dan tertawa canggung: “Haha, pagoda itu akhirnya jadi onggokan sampah dibawah danau, ahaha ...”

_______________________________________________________________________
Sharing mind ....
Beberapa hari ini cuaca luar biasa fanaaaass, hot ... hot ..... , dimana-mana nyari kipas angin, ac bagi yang mampu ^_^
Seharian pakai jilbab, kepala juga gatel, lepek, shampoo cepet abis karena keramas saban malem, hlaa belum kering udah ketiduran, pagi-pagi bangun masih lembab, ih tape dweeeeehhhh
Yah, disyukuri aja, karena cuaca panas jd rajin keramas, baik untuk hidup sehat. Yang penting hati tetep adem, terserah mau ngademinnya dengan cara apa juga yang penting masih di jalan yang benar ahaha ...
Quote of the day ‘The more you sweat in practice. The less you bleed in battle’ yang artinya jeng jeng jeng ..... latihan banyak-banyak biar penuh keringat juga (apalagi di cuaca panas begini ...lol...), kalau dah sering latihan ntar klo perang beneran udah jago, ga gampang kalah wkwkwkwk

____________________________________________________________________________









Tuesday 22 August 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 6

Chapter 6 : Zhonghua Yang Agung

Aku tak pernah tau bahwa lima puluh tahun bisa begitu menyiksa.

Setelah melewatkan masa hukumanku, aku berpamitan dengan Yanwang dan bereinkarnasi.
Kalau aku tidak segera pergi mencari Moxi, bagaimana kalau Moxi menambah hukuman lima puluh tahun lagi? Untuk alasan ini, aku akan menuruti kemauannya. Aku akan merayunya ketika dia sudah lemah dan tua. Aku dengar pria lebih mudah terpengaruh hal negatif diusia ini. Mereka sudah berhasil secara karir, keluarga yang mapan, mereka sudah menikmati segala hal yang perlu dinikmati, namun pada usia ini mereka sudah tidak banyak memiliki ketertarikan.

Kalau aku pergi menemuinya sekarang untuk memberikan sedikit kesenangan, upaya untuk merayu Moxi akan terasa lebih mudah dilakukan.

Bila dilihat dari sudut pandang ini semuanya terlihat mudah, namun hidup selalu penuh kejutan.
Aku menghabiskan waktu seratus tahun menunggu di dunia akhirat. Kegelapan yang menyelimuti diriku tidak lebih ringan dari sebelumnya. Karena aku baru saja tiba dari dunia akhirat, bau amis dari sungai Wangchuan masih segar. Tidak perlu waktu lama sebelum sekelompok pendeta tertarik atas kehadiranku seperti lalat yang tertarik kepada aroma daging busuk.

Era ini adalah masa dimana kegiatan memburu dan membunuh iblis dan penyihir berkembang pesat. Usia pendeta-pendeta ini masih sangat muda dan bahkan bila umur mereka semua ditambahkan kemudian dikalikan sepuluh, usiaku masih sangat jauh lebih tua. Namun demikian mereka sangat yakin akan kemampuan mereka...

Aku tidak terlalu mahir berurusan dengan anak-anak yang serius ini, jadi aku meniru nada suara Yanwang untuk menakut-nakuti mereka: “Enyahlah, atau aku akan merebus dan memakanmu”
“Sombong, idiot!” pemimpin muda mereka mengarahkan pedangnya di depanku. “Aku akan memusnahkanmu hari ini!” dia melolong.

Aku mengerutkan kening melihat anak muda ini, sungguh anak muda yang garang. Terlihat jelas dari tingkah lakunya kalau anak muda ini tidak diajari dengan benar. Aku menggelengkan kepala dan tak bisa menghindari untuk menyalahkan guru mereka dalam hati. Selagi aku berpikir bagaimana caranya meloloskan diri, teriakan seorang wanita terdengar dari kejauhan: “Changwu, segera kembali kesini sekarang juga.” Wanita itu mengenakan gaun berwarna putih, pita dirambutnya berkibar selagi tubuhnya melayang menuju kami seperti seorang peri yang turun ke bumi.

Aku memandangnya dengan takjub. Aku tak pernah membayangkan bahwa ada manusia yang begitu menawan di alam manusia ini. Namun aku belum selesai menikmati keelokannya ketika tiba-tiba dari tangannya seutas pita terbentang ke arahku dan melilit tubuhku dengan erat. 

Setelah beberapa saat aku berjuang melepaskan diri, aku mengetahui bahwa pita ini terbuat dari material yang unik.

Para pendeta muda itu bersorak kepada wanita itu, ‘guru besar’.

Guru besar...

Dengan anggun dia mengangguk, meminta mereka untuk bangkit, kemudian melangkah mendekatiku dan untuk beberapa saat memandangku dengan penuh selidik. “ Oh, ternyata iblis yang cantik.”
Aku tertawa. “Kau juga pendeta yang cantik.”

Dengan dingin wanita itu meringis. “Meskipun aku tak bisa melihat asal-usulmu, sekali kau terikat dengan pita sutraku, kau tak akan bisa lolos bagaimana pun hebatnya dirimu.”

Diam-diam aku berjuang untuk melepaskan diriku dari ikatan pita sutra dan sedikit menyadari bahwa aku tidak memiliki kemampuan sama sekali. Benda ini benar memang tali yang kuat. Namun kalau aku bersungguh-sungguh, ikatan ini tak akan mampu menahanku. Wanita muda ini terlalu yakin dengan kemampuannya.

“Bawa dia ke gunung Libo agar Maha guru yang agung bisa menanganinya.” Menyudahi kalimat ini dia berpamitan dengan para pendeta muda. “Meskipun aku sudah mengikat iblis ini, aku tak bisa menduga-duga kekuatannya. Kalian harus tetap waspada. Jangan biarkan dia menemukan cara untuk meloloskan diri. Aku masih punya keperluan untuk diselesaikan, jadi aku tidak bisa kembali bersama kalian.”

Pendeta-pendeta muda itu serentak mengiyakan.

Menimbang bahwa aku baru saja tiba disini, meskipun aku ingin sekali mencari tahu keberadaan Moxi, namun aku tidak tau harus mulai dari mana. Aku pikir ada baiknya ikut kemauan mereka saja. Dengan mereka tidak saja meminimalisasi gangguan dari penganut-penganut agama fanatik, aku juga bisa memanfaatkan waktu untuk mencari kabar tentang Moxi.

Pemuda-pemuda ‘imut’ ini ‘menggiring-ku’ pergi. Melihat mereka membuatku sangat merindukan Moxi. Diantara anak-anak ini, hanya ada satu anak yang masih terlihat seperti manusia biasa. Nama Dao-nya Chang’an – anak yang berwatak lembut, pemalu dan naif.

Anak ini sangat mengingatkanku dengan Moxi kecil dikehidupanku yang lalu.

Aku suka sekali memerhatikannya, namun setiap kali aku meliriknya, dia selalu ketakutan. Bingung, aku mencuri dengar bahwa anak ini takut bila suatu kali aku akan melepaskan diri dari ikatan dan akan menculiknya untuk menghirup yang dari tubuhnya untuk memperkaya yin-ku.(1)

Aku segera saja merasa kewalahan. Bukan saja karena aku adalah jiwa spiritual yang tidak perlu melakukan hal memalukan seperti itu, namun yang seperti apa yang bisa diperoleh dari anak seperti ini? Kalau memang aku perlu menghirup yang... orang yang pertama kali harus aku hirup adalah Moxi.

(1)   Kegelapan yang selalu Sansheng sebutkan adalah merujuk kepada yin, dimana yin adalah kegelapan sementara yang adalah cahaya. Namun yin dan yang adalah juga dualitas pria-wanita, dan meskipun hal ini menyangkut tentang jenis kelamin, namun bila ditinjau dari konteks Dao hubungan seksual dipercaya bisa menjaga keseimbangan dua kekuatan ini yang pada akhirnya akan memberikan kehidupan yang sehat.

Setelah tahu tentang hal ini, aku mencoba menahan diriku untuk tidak melihatnya dengan mata laparku.

Selama perjalanan, aku tak sengaja mendengar bahwa kaisar yang berkuasa adalah orang yang cukup taat. Penganut Dao tumbuh pesat dalam masyarakat dan banyak penganut Dao mengirimkan anak mereka untuk belajar di kuil. Tambahan lagi, gunung Libo jyang sedang kami tuju adalah salah satu kuil terkemuka.

Tujuan mereka adalah hidup kekal.

Ketika canak-anak ini menyebutkan hal ini, wajah mereka dipenuhi dengan rasa bangga, seolah-olah hanya dengan menjadi murid di gunung Libo mereka sudah mendapatkan keberkahan selama ratusan tahun. Sebaliknya, meskipun memang ada kaum mortal yang terbang ke angkasa hanya ada satu atau dua orang yang berhasil dalam kurun waktu ribuan tahun. Angka keberhasilannya sungguh sangat menyedihkan.

Kurcaci-kurcaci cilik ini berjalan sangat cepat, hanya dalam beberapa hari kami sampai ke gunung Liubo.

Aku tidak memperoleh informasi tentang Moxi selama dalam perjalanan dan merasa sedikit kecewa. Selagi aku mencari cara bagaimana untuk melepaskan diri dari ikatan pita sutra sebelum memasuki gunung Libo, aku melihat segel keemasan dipergelangan tanganku bereaksi.
Aku menjerit akibat sensasi terbakar dari pergelangan tanganku selagi merasakan kibasan energi luar biasa menyapu di atas kepala kami dan membuat rambutku berantakan.
Setelah merapikan rambutku yang berantakan dari wajahku, aku melihat semua pendeta muda yang bersamaku berlutut menatap ke satu arah dan berseru serempak: “Yang Agung!”
Ooh, jadi ini bos Liubo.

Aku melihat dengan teliti dan segera melonjak girang. Ini yang mereka sebut dengan “kenakan sepatumu” atau sesuatu seperti “hal yang datang tanpa usaha” atau apalah (2)

(2)   Sansheng mencoba menggunakan peribahasa Cina yaitu sepatu besi yang kau kenakan sudah rusak namun hal yang kau cari tidak kau dapatkan. Namun ketika kau tak mencari, malah hal itu datang sendiri.

Kenapa, bukankah ini Moxi?!

Saat ini, bagaimanapun, Moxi masih terlihat seperti masih dalam usia dua-puluhan atau tiga-puluhan. Dia tidak tua atau lemah sama sekali., dan tidak kelihatan seperti manusia yang sudah hidup lima puluh tahun di bumi. Namun muncul dalam benakku bahwa dia mencari kekekalan dalam hidup, jadi dia menggunakan sihir untuk menjadi kaum immortal. Meskipun dia belum menjadi sekelas malaikan, dengan mudah ia bisa mempertahankan usia mudanya.

Aku tertawa puas dalam hati. Moxi, Moxi, kau mencoba bersembunyi dariku namun langit lebih cerdik darimu. Mari lihat bagaimana lagi kau bisa bersembunyi dariku kali ini.

Selagi aku sibuk nyengir, tiga pedang mengeluarkan suara ‘whoosh’ tertuju ke arahku, aura ingin membunuh membuat tubuhku menggigil. Aku berhenti nyengir dan melihat Moxi dengan rasa terkejut.

Tiga pedang yang tertuju ke arahku tidak berasal dari Moxi, namun dari tiga orang pendeta beralis abu-abu dan berjenggot panjang yang ada dibelakangnya. Mereka menyeringai, menatapku dengan serius.

Dengan nada dingin Moxi berkata; “Benda apa ini yang muncul dari kegelapan?”
Aku menatap Moxi dengan terbodoh. Cara ia memandang ... sorot matanya .... sama seperti ketika dia memandang Shi Qianqian dihidup yang lalu.

Aku tidak tau namun aku tiba-tiba saja nerasa takut. Aku tidak pernah suka menjelaskan diriku kepada orang lain, namun saat ini aku harus menjelaskan diriku : “Meskipun kegelapan memang pekat dari diriku, aku benar-benar bukan seorang Iblis. Aku ruh dari sebuah batu. Namaku Sansheng.”

Pendeta dengan alis abu-abu dan jenggot panjang saling bertatapan dengan wajah bimbang, kemudian menoleh kepada Moxi.

“Kalau kau bukan dari kaum kami, maka kau jelas berbeda. Kau harus dienyahkan.” Dengan dingin Moxi mengumumkan.

Kata-katanya sangat meyakinkan sehingga membuatku sedih dan marah. Aku tak mengerti kenapa Moxi bisa bereinkarnasi menjadi manusia yang bodoh kali ini. Sebelum aku bisa mengatakan apa-apa, kibasan pedang sudah menerjang ke arahku, ikatan pita ditubuhku juga semakin erat.

Hatiku dipenuhi dengan marah. Selama ribuan tahun aku hidup, diluar masa-masa aku menyakiti diriku sendiri, tidak ada yang berani kurang ajar kepadaku. Dengan segera aku mengumpulkan kekuatanku agar aku bisa melawannya.

Kalau ia masih dewa perang, pilihaku satu-satunya adalah menanti kematian datang 
menjemputku. Namun dia yang sekarang hanyalah manusia yang sedang mencari kekekalan. Dia belum lagi memiliki kekuatan sihir lebih dari empat puluh tahun ditubuhnya. Meskipun kemampuannya sedikit lebih baik, dia tidak bisa menang melawanku tak peduli bagaimanapun hebatnya dia.

Kami belum bertarung lebih dari setengah jam namun wajah Moxi sudah pucat. Aku meragu apakah aku bisa mengambil kesempatan untuk menggunakan usia ribuan tahunku untuk menghajar dewa yang sedang menjalani ujian hidup. Baru saja aku berniat untuk berhenti menyerang ketika Moxi tiba-tiba saja memuntahkan darah berwarna hitam dari mulutnya.
Terkejut, dengan segara aku menahan seranganku.

Apakah kekuatanku terlalu kuat sehingga aku tidak bisa mengontrolnya?

Aku tertegun.

Tiga pendeta berjenggot panjang berseru pada waktu bersamaan: “Yang agung Zhonghua!” dan bergegas menolong Moxi dan memeriksa denyut nadinya. Murid-murid Liubo juga mengelilinginya.

Aku tak khawatir kalau ia akan mati (meskipun bila dia mati aku juga tak keberatan). Jalannya memang sudah demikian. Takdir ‘bertemu melalui rasa benci’ belum lagi dimulai. Bila Moxi belum melewati ujian ini, dia tidak akan bisa bereinkarnasi lagi.

Pendeta-pendeta muda mengelilinginya dengan wajah cemas, sampai salah satu dari mereka berdiri. Aku mengenalinya, anak muda bernama Chang Wu. Dengan meyakinkan, dia melepaskan pedangnya dari sarungnya dan menudingkannya kepadaku sambil berteriak penuh kebencian: “Iblis perempuan, kau menyerang yang agung meskipun dia dalam keadaan terluka! Kau pantas mati!”

Seketika setelah dia berteriak, yang lainnya juga ikut mengamuk. Pendeta-pendeta muda lainnya juga melepaskan pedang mereka dari sarungnya dan mulai menyerangku. Bahkan yang paling penakut di antara mereka, Chang’an, mukanya merah menahan amarah. Ramai-ramai mereka berteriak dan mengatakan akan membunuhku untuk membasmi kejahatan dan mempertahankan kebaikan.

Aku benci melihat anak-anak mengerubutiku sambil merajuk minta gula-gula, dan meskipun keadaan saat ini jauh berbeda dengansituasi ketika anak-anak minta gula-gula, dimataku sama saja.

Dengan ini aku memutuskan untuk menyerah: “baiklah, baiklah! Lakukan yang kalian mau, lakukan yang kalian suka!”

Gerombolan ‘anak-anak’ itu menoleh ke kanan dan ke kiri, tak satupun berani mengambil keputusan. Pada akhirnya, seorang pendeta tua mengambil kesempatan dan berteriak: “Kurung dia di pagoda seribu gembok didasar danau sihir.

Terdapat sebuah danau di gunung Liubo, yang tidak terlalu luas namun terkenal dengan kedalaman airnya. Danau ini diselubungi mantra yang sangat kuat, oleh karena itu murid-murid di gunung liubo menyebutnya danau sihir. Pendeta-pendeta di gunung Liubo telah menghabiskan waktu ratusan tahun untuk membangun pagoda seribu gembok didasar danau yang dikhususkan untuk mengurung iblis berbahaya.

Aku berdiri ditepi danau dan menatap ke dasar danau. Sambil mengelus dagu aku berpikir. Benda ini memang tepat untuk mengurung iblis. Pertama, danau ini diselubungi oleh kekuatan yang sangat dahsyat, sehingga kekuatannya bisa memurnikan aura iblis. Kedua, pagoda ini ada didalam air! Bila seseorang tidak bisa bernafas, maka tak peduli seberapa kuatnya pun iblisnya, maka dia akan tersapu seperti mayat setelah terperangkap didalamnya.

Namun demikian, berbeda halnya dengan diriku dan ruh lainnya. Sari murni dari langit dan bumi merupakan aura yang tepat untuk tubuh dan pikiranku; tempat ini merupakan tempat yang tepat bagiku untuk bermeditasi. Aku tak mau repot-repot memberontak dan membiarkan ‘anak-anak’ itu memasang rantai dikakiku sebelum merapalkan mantra untuk menenggelamkanku ke dasar danau.

Pemandangan disekitar danau tidak terlalu buruk menurutku.

Setelah aku dijebloskan ke dalam pagoda, ‘anak-anak’ mulai meneriaki-ku dari seberang gerbang besi. Banyak kertas mantra didalam, mereka memberitahuku. Atau bila aku memaksa untuk kabur, aku akan berakhir mati mengenaskan. Tak memedulikan apapun, aku merobek sebuah kertas mantra dari sebuah tiang dan memainkannya dijariku.

Pagoda ini penjara untuk iblis; semua bangunannya diperuntukkan untuk menangani kekuatan iblis. Aku sudah bilang ribuan kali kalau aku bukan iblis. Bodoh, manusia bodoh yang suka sekali menghakimi!

Bahkan Moxi pun sama saja ...

Saat pikiran yang sama merasukiku, aku merasa sangat diperlakukan dengan salah sampai hidung berair, untuk sementara aku tak mampu menenangkan diriku.

Aku mengelilingi bagian dalam pagoda dan menemukan sebuah tangga masuk. Disana, terdapat sebuah mutiara malam yang bersinar menerangi tangga sampai ke atas. Sepertinya ada sesuatu diatas sana – terlalu jauh karena sinar yang temaram aku tidak bisa melihat dengan jelas. Aku menjadi penasaran. Berpikir bahwa tidak ada yang bisa aku lakukan, perlahan aku menaiki tangga menuju ke atas.

Begitu aku bisa melihat dengan lebih jelas di puncak pagoda ... hah, sesaat rasanya aku ingin sekali tertawa lebar begitu aku melihat siapa yang dikurung disana. Siming Xianjun (Dewa nasib) jelas sekali menggemari tema opera sabunnya, iya tidak? Bukankah ini pendeta agung dari kehidupan yang lalu?!

Meskipun saat ini matanya berwarna hijau—menyiratkan aura yang dingin, meskipun rambutnya sekarang berwarna putih – memberikan getaran yang aneh, bagaimanapun aku melihatnya, dia masih menganggapku monster yang menakutkan. Tangan dan kakinya dibelenggu rantai besi, tubuhnya terbentang diudara. Sangkar besi penuh kertas mantra memenjarakan tubuhnya. Jelas sekali penjara yang paling aman.

Dia pastinya sangat ketakutan sekali ketika dia ditangkap.

Di kehidupan masa lalu dia pemburu iblis, dikehidupan ini dia justru jadi iblisnya. Ini yang aku sebut karma.

“Hey! Lama tak berjumpa! Aku melambaikan tanganku padanya sambil mengucapkan salam.
“Siapa kau?” Dengan kaku dia mengucapkan kata-kata dengan suaranya yang serak. Kelihatannya dia sudah berada disini untuk waktu yang lama.

Aku tersenyum, “Aku Sansheng.”

Dia mengerutkan keningnya. “Apakah kita saling kenal?”

Aku meraba keningku dan berpikir. “Ya, bisa juga dibilang begitu.”

Tak ada pembicaraan lagi setelahnya. Aku bosan setengah mati. Aku mendongak memandang puncak pagoda yang suasananya lebih terang ketimbang disini, karena ada sebuah lubang dipuncaknya.

Aku pikir hal ini cukup aneh, melihatnya terikat disini namun ada lubang persis dihadapannya. Apakah mereka (merujuk kepada para pendeta) tidak takut kalau iblis akan menemukan jalan kabur? Atau apakah pendeta gunung Liubo yakin sekali dengan kekuatan pagoda untuk memerangkap para iblis sehingga mereka dengan yakin membuat jendela agar para iblis bisa meratapi dunia luar dan mati dalam keadaan putus asa?

Sungguh terkutuk. Pendeta-pendeta ibi benar-benar sadis!

Aku masih sibuk membayangkan hal ini dalam pikiranku ketika aku mendengar dia berkata: “Mundurlah.”

Untuk beberapa saat, aku tidak mengerti apa yang dia maksud, namun dengan patuh aku menuruti perkataanya dan mundur ketempat yang lebih gelap.

Segera aku melihta permukaan danau berpendar dengan indah. Kemudian, sekilas cahaya matahari menyorot masuk melalui lubang diatap pagoda dan jatuh tepat menyinari wajahnya, wajahnya yang menyeramkan sekarang terlihat sangat jelas dibawah sinar yang terang sekali.
Kilasan wajah penuh derita sekarang terlihat jelas, tersirat melalui matanya yang berwarna hijau.
Aku melihat dengan perasaan ngeri selagi kulitnya perlahan membengkak. Begitu sinar matahari semakin terang, bengkak dikulitnya juga semakin parah, dibeberapa bagian bahkan terkelupas mengeluarkan cairan nanah.

Ekspresi wajahnya jelas menggambarkan derita yang teramat sangat. Namun sekarang dia hanya bisa diam.

Aku sudah banyak melihat jenis hukuman namun pemandangan ini tidak bisa tidak membuatku mual. Tak sanggup melihat hal ini lebih lama lagi, aku melepaskan jubah luarku dan melemparkannya menutupi lubang. Sekarang terhalangi kain, sinar yang masuk menjadi lebih redup.

Makan waktu satu setengah jam hingga akhirnya sinar matahari menghilang dari dalam pagoda.
Baru aku mneyadari bahwa saat ini sedang siang bolong. Apakah ini maksudnya bahwa pria ini terbakar setiap hari dibawah matahari?

“Urus urusanmu sendiri.” Pria itu berkata kepadaku.

Aku memutuskan untuk tidak bertengkar dengannya. “Berapa lama kau sudah ditahan disini?”
Dia tidak mengatakan apa-apa untuk beberapa saat, kemudian tertawa, masih dengan sikap acuh. “Mungkin sepuluh tahun, mungkin dua puluh tahun. Siapa yang tau?”

Aku mendesah, turut merasakan sedih. Tetap saja, aku penasaran dengan nasibnya dikehidupan ini. “Mengapa kau dikurung disini? Siapa yang mengurungmu ditempat ini?”

Dia tetap memilih untuk diam dan tak mau bicara lagi. Setiap mahkluk punya rahasia yang tidak ingin mereka bagi dengan orang lain, aku juga tidak mendesaknya lebih jauh, dan lebih memilih untuk mengubah topik pembicaraan ke hal lain dan bertanya, “Apakah kau ingin bebas dari tempat ini?”

“Untuk apa repot-repot menanyakan apa mauku? Semuanya Cuma khayalan?”

Aku tersenyum jahil. “Bagaimana kalau aku punya cara untuk mengeluarkanmu dari sini?”

Dia memandangku; sekilas cahaya berkelebat dimatanya yang berwarna hijau.

“Baiklah, kau tidak terlihat seperti orang yang jahat dimataku. Paling tidak kau cukup bermurah hati dengan mengingatkanku untuk menjauh dari sinar matahari barusan. Aku tidak tau alasan kenapa kau dikurung disini, tapi kau sudah cukup lama juga terkurung disini jadi aku pikir hukuman apapun itu aku pikir sudah cukup. Karena kau dan aku bisa dianggap sebagai kenalan, aku akan bersikap baik dan akan menyelamatkanmu sekarang, akan tetapi aku tidak melakukannya dengan Cuma-Cuma. Karena kau berhutang padaku hari ini, kau harus membalasnya di masa yang akan datang.”

“Dan balasan seperti apa yang kau mau?”

“Baru-baru ini ada beberapa anak bandel yang membuatku marah, namun karena aku gadis yang baik hati, aku tak mau memukul mereka dengan tanganku sendiri. Setelah kau bebas dari sini, kau harus memberikan mereka sedikit pelajaran menggantikan diriku. Tidak perlu terlalu parah, cukup agar mereka tidak bisa turun dari tempat tidur selama sebulan.” Aku memberikan keterangan. “Oh ya, ada satu orang yang harus kau berikan sedikit perhatian lebih, buat dia tidak bisa turun dari tempat tidur selama tiga bulan. Aku akan memberikanmu keterangan lebih lanjut nanti ...”


  _________________________________________________________________________
Pojok omelan ....

Sejak menyukai novel-novel dari negeri tirai bambu, banyak sekali peribahasa baru yang aku temui. Ya, penulis-penulis dari negeri Cina suka sekali memakai peribahasa dalam ceritanya, lambat laun satu dua nempel juga dikepala karena sering baca.
Ada satu peribahasa yang aku sangat suka, bunyinya kurang lebih begini What the eyes don’t see, the heart don’t grief. Maknanya kurang lebih ya kalau kita tidak lihat langsung dengan mata kepala sendiri, maka hati juga tidak kepikiran hehehe ....
Peribahasa ini cocok sekali dipakai kalau kita sedang bad mood, misalnya, pengen beli ini atau itu tapi ga ada duit, nah bagusnya tinggal dirumah aja ga usah melalak nanti malah kepikiran wkwkwkwk, atau ga usah buka hape liat-liat di online shop ntar malah cuma bisa  ngiler kebawa mimpi hehe ...
____________________________________________________________________________


  

Tuesday 8 August 2017

Apologize for some delay 😅

As the saying goes, pengen update a.s.a.p tapi apa daya, works is catching up, catching me for sure ahem ...
Hari ini pindahan 'pabrik', so ga ada alasan untuk pegang laptop (now I'm updating with my not too comfy tab). Dari kemarin udah nyingsingin lengan baju buat pegang sapu, sapu lidi, ember, and even rumput haishhhh ....
My palms is callusing 😂😂😂
It's surely a hard work indeed, but I am excited because the new 'house' consists of many room and I succesfully landed with my own new office, yeaaaaaayy finally after years enduring with others in the same workplace.
I am so looking for the achievement here ... fingers crossed 😊😊
And for the translation project, I promised to work it out as soon as the new place settle, in two days for the least.

Monday 7 August 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 5

Chapter 5 : Dia melindungimu, sayangku

Ada rasa terbakar ditengkukku tepat ketika aku menginjakkan kaki di dunia akhirat. Dari tiga segel yang diberikan Yanwang, satu sudah hilang. Ini artinya satu dari tiga kehidupan yang dijanjikan Moxi sudah berlalu.

Sekembalinya aku ke dunia akhirat, aku tidak suka berjalan sendirian dipinggiran sungai Wangchuan. Apa untungnya, kalau aku akan tetap berakhir sendirian pada akhirnya? Setiap hari, aku bersandar pada batu sambil menantikan Moxi berjalan menuju reinkarnasi berikutnya.

Waktu berlalu dengan cepat di dunia akhirat. Sudah empat dekade berlalu di dunia manusia ketika tanpa sengaja aku bertemu seseorang yang aku anggap kenalan.

Aku meringis melihatnya. Dia, juga, mengenaliku dan tertegun untuk beberapa saat. Cukup lama baginya untuk tersadar dan berkata, “Kau?”

“Pendeta, sudah cukup lama berlalu. Kau tidak kelihatan tua sama sekali.”

Dia tidak mengacuhkan candaanku dan mengerutkan dahi. “Mengapa kau belum be-reinkarnasi?”
“Aku sedang menunggu seseorang.”

Aku mengatakannya dengan santai, namun dia nampak terkejut. Dia mendesah setelah sekian lama: “Karena akulah kalian terpisah di dunia...”

Aku mengibaskan tanganku dan akan berkata bahwa takdirlah yang menyebabkan semuanya terjadi ketika dia bicara lagi: “ Kau menghabiskan waktumu disini menunggunnya sedangkan dia menghabiskan waktunya di dunia meratapi kehilanganmu. Aku sudah berbuat salah telah merampas kebahagiaan kalian berdua.” Dia terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu, dan dengan yakin berbicara: “Apa yang sudah terjadi, terjadilah. Karena aku berhutang pada kalian berdua di kehidupan ini, aku akan membayar hutangku dikehidupan berikutnya.”

“Tidak usah repot-repot, sungguh.” Dengan tulus aku memberitahunya. “Ini antara aku dan Moxi, dan kami tidak ingin melibatkan orang lain dalam urusan kami.”

Dia mengibaskan ujung jubahnya, menggelengkan kepalanya sambil menghela nafas, dan melanjutkan perjalanannya.

Aku berpikir memang tidak bisa dihindari bagi orang yang berumur panjang untuk memiliki kebiasaan buruk untuk mencoba menebak cara berpikir atau isi pikiran orang lain.

Tak peduli bagaimanapun pencapaiannya sebagai pendeta semasa hidupnya, ketika semangkuk sup si Tua Meng dia minum, satu langkah melalui jembatan Naihe, dan melompat ke putaran reinkarnasi maka masa lalu seseorang akan lenyap seketika.

Kehidupan berikutnya tidak akan bisa menebus kesalahan sesorang dimasa lalu.

Setelah pendeta istana bereinkarnasi, aku berpikir Moxi juga pasti akan segera datang ke dunia akhirat. Setiap hari, aku menatap sungai Wangchuan dan aku berhias secantik mungkin sampai-sampai aku kelihatan begitu menonjol dan tidak sesuai dengan kondisi di dunia akhirat. Di saat-saat senggang, aku duduk diatas batu dan belajar tentang tata cara hidup manusia. Aku mengambil sebatang kayu dan menggambar lingkaran ditanah, membisikkan kata: “Moxi, cepatlah turun, cepatlah kemari.

Ketulusanku mungkin akhirnya mengetuk pintu surga. Hari itu setelah aku selesai berpakaian dan berdiri diatas batu, aku melihat Moxi berjalan diantara bunga amaryllies yang berwarna kuning selagi dia berjalan mendekatiku, kelihatannya seperti sedikit marah.

Oh, dia jelas-jelas marah.

Aku masih sedikit bingung ketika sebuah bola api terlontar mengarah ke kakiku. Terkejut, aku dengan cepat melompat dan mengelak.

Mahkluk dan ruh dunia lain yang kebetulan melihatnya segera menyingkir dari pandangan begitu mereka melihat bola api.

Tidak tau apa yang sedang terjadi, aku memandang Moxi. Dia terlihat seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya – kehadirannya dipenuhi suasana surgawi.

Namun mahkluk surga ini sepertinya sedang penuh marah tanpa alasan, dan sepertinya dia terlihat kebingungan.

Aku merasa sedikit sedih. Aku sudah menunggunya begitu lama. Kami baru saja berjumpa dan belum bertukar sapa malah dia langsung menyerangku. Aku sangat merasa terluka!

Dia mendekat dan meraih pergelangan tanganku. Aku melindungi titik vitalku dan berkelit, menghindari cengkeramannya.

Dia mencemooh: “Jadi kau sudah belajar bagaimana caranya mengelak dan sudah tau rasa  takut. Mengapa kau tidak membiarkanku menangkapmu? Mengapa kau tidak membiarkanku membakarmu? Apakah kau sekarang sudah menyadari kalau hidupmu tidak mudah untuk kau dapatkan sehingga kau takut kehilangannya sekarang?”

Aku memikirkan apa maksud dari perkataannya. “moxi, apakah kau marah padaku?”

“Marah?” Dia mengejek. “Kenapa aku harus marah? Kau melindungiku, mengorbankan hidupmu untuk melindungiku, dan membantuku melewati ujian takdirku. Aku tidak bisa cukup berterimakasih kepadamu, bagaimana aku berani marah padamu?”

Aku membuka mulutku untuk berkata bahwa aku tidak mengerti mengapa dia marah kepadaku, dan berniat meledeknya. Namun melihat amarah yang berkelebat diantara alisnya, aku diam dan menelan kata-kataku, perasaan sedih dalam hatiku semakin memuncak.

Melihat tampangku yang terluka dan mataku yang berkaca-kaca, wajahnya tampak semakin tegang sembari berkata dengan dingin, “Kau tidak diijinkan menangis.”

Aku terus menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

Pembuluh darah dikeningnya nampak semakin menonjol. Pada akhirnya, dia menghela nafas panjang. “sudahlah.” Pandangannya sedikit melembut, dan dia menepuk kepalaku dan memberikan senyuman samar. “Aku yang patut dipersalahkan.” Hampir bersamaan, ekspresinya kembali gelap. “Kenapa aura kegelapan ditubuhmu semakin pekat?”

Aku menyembunyikan wajahku dengan sedikit malu. “Karena aku mengira kau akan segera tiba, aku mandi air sungai Wangchuan setiap hari.” Apakah kau suka penampilanku?”

Moxi terdiam untuk beberapa saat.

“Aku berbenah setiap hari. Aku berkata, “selagi aku menunggumu disini. Moxi, kapan kau akan bereinkarnasi agar aku bisa pergi denganmu?”

Dia mengernyit. “pergi denganku?”

“Tentu saja.”

Dia menarik lenganku dan memukul segel emas dipergelangan tanganku. “Kau dilarang untuk meninggalkan dunia akhirar selama lima puluh tahun.”

Merasa bingung, aku bertanya, “Kenapa? Tidakkah kau berjanji soal tiga kehidupan kepadaku?”
“Ya. Yang aku minta hanya agar kau menunggu lima puluh tahun lagi sebelum kembali ke dunia manusia.”

“Tapi kau juga berjanji kepadaku kalau aku akan merayumu.”

“Kau bisa datang untuk merayuku.”

“Tapi kau pasti sudah jadi pria tua saat waktu itu tiba. Bila saat itu tiba, ketika aku menemukanmu, kita tidak akan punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama lagi.”

“Jangan cari aku kalau begitu.”

Sesaat setelah dia selesai bicara, dia bergegas menyeberangi jembatan Naihe. Aku sangat marah dan mengambil segenggam lumpur sungai dan melemparkannya tepat ke belakang kepala Moxi.
Dia berdiri memunggungiku, aku tidak tau ekspresi wajahnya. Aku hanya melihat tiba-tiba si Tua Meng membungkuk dan melakukan kowtow kepadanya sembari dia memohon dengan sungguh-sungguh: “Ampunilah, Tuanku.”

Aku tersadar setelah semuanya terlambat, tanah di dunia akhirat sudah diinjak oleh para hantu dan ruh yang jumlahnya tak bisa dihitung. Tanah yang paling kotor ditiga dunia. Lemparan lumpur oleh tanganku, untuk seorang dewa dari surga, sudah pasti dosa yang sangat besar.

Dia melirik kearahku, suaranya sedikit kasar: “Aku tidak mau kau menjadi ujian takdirku untuk yang kedua kali.”

Sungguh kalimat yang aneh. Untuk sesaat, aku tidak bisa memahami perkataannya. Aku hanya bisa menatapnya saat dia meminum sup si Tua Meng tanpa menoleh lagi. Kemudian dia masuk ke putaran reinkarnasi dan menghilang.

Dia pasti berpikir aku merepotkan dan karenanya dia tidak ingin pergi bersamaku. Pikiran ini membuatku sedih sehingga aku meratap dibatu dan menangis sepuasnya.

Kalau orang lain yang melukaiku, aku akan membalasnya sepuluh kali lipat. Tapi Moxi yang menyakitiku ... karena itu Moxi maka aku hanya bisa membiarkannya menyakiti perasaanku. Aku bukan hanya tak bisa menang darinya, aku juga tidak bisa membiarkannya pergi.

Aku tak tahu berapa lama aku menangis saat ada orang yang memanggilku namaku dari seberang sungai.: “Nona Sansheng. Oh salah, Nyonya Sansheng tersayang, jangan menangis, jangan menangis lagi.”

Aku mengintip dari balik batu dan memandang tamuku dengan mata bengkak. “Jia, ada apa?”
Jia meraba keningnya, kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata, “selama beberapa hari belakangan, air matamu yang tertumpah telah membuat air sungai Wangchuan naik beberapa meter. Sungguh mengejutkan melihat batu bisa mengeluarkan air mata sebanyak ini. Jiwa-jiwa yang hendak menyeberangi jembatan Naihe semuanya ketakutan. Yanwang dengan khusus mengirimku untuk membawamu menemuinya agar kita bisa membicarakan masalah ini.”

Aku mengangguk, kemudian mengikuti Jia menuju istana Yanwang dengan hati pilu.
Biarpun nampak kurus, Yanwang nampak sedikit buncit. Ketika aku melihatnya, dia sedang mengunyah kaki babi dengan rakus.

Aku menyapanya: “Yanwang.”

“Oh, Sansheng sudah datang.” Dia mengibaskan tangannya. Sekali gerakan, seorang pelayan menghampiriku dan menawarkan sepotong ham kepadaku. Kelihatannnya sangat berminyak sehingga membuatku mual. Aku menolaknya dan membiarkan pelayan itu pergi.

Yanwang memandangku sejenak dan berkata, “Aku sudah dengar kau sakit hati dan bersedih karena Tuan Moxi beberapa hari ini.”

Mendengar nama Moxi disebut, hidungku menjadi basah dan air mataku mulai tumpah.
“Tidak, tidak, jangan!” dia menyemburkan kata-kata dalam usahanya mencegahku menangis. “Hari ini aku memanggilmu kesini agar kita bisa membicarakan soal kesusahan hatimu. Kalau kau terus menangis, aku takut sungai Wangchuan akan meluap.”

“Sansheng.” Dia bicara sambil mengusap mulutnya, “apakah kau tau tiga takdir apa yang Tuan Moxi sedang alami di dunia manusia?”

Aku menggelengkan kepalaku.

“Untuk berpisah meski saling mencintai, untuk bertemu meski akan berakhir penuh kesengsaraan, dan untuk mencari apa yang tak bisa diraih. Ini adalah tiga ujian dalam kepercayaan Buddha. Di kehidupannya yang terakhir dia harus berpisah dari orang yang dicintainya. Di dalam Buku Takdir Siming Xingjun, tertulis bahwa Tuan Moxi dan putri jenderal besar, Shi Qianqian harusnya saling mencintai namun cinta mereka akan terpisah karena perbedaan pandangan. itulah takdir perpisahan yang mestinya dialami Tuan Moxi. Akan tetapi, takdirnya berubah karena kehadiranmu. Awalnya Tuan Moxi akan hidup dalam kesepian, namun karena dia bertemu denganmu, selama bertahun-tahun kalian bersama akhirnya dia memiliki perasaan terhadapmu. Kau ingin membantunya untuk menghindari takdirnya, jadi kau merelakan hidupmu agar hidupnya berjalan mulus. Benar juga, menghabiskan sisa hidupnya terpisah darimu sama juga dengan ‘berpisah dengan orang yang dicintainya’. Kau tanpa sengaja sudah memenuhi takdirnya, meskipun awalnya tidak bermaksud demikian.”

Yanwang terdiam sesaat kemudian menghela nafas. “Kau belum melihat bagaimana tampang Tuan Moxi saat di dunia manusia. Tsk tsk, dia biasanya orang yang sangat murah hati, namun untukmu, dia dengan hati dingin meminta kaisar untuk membinasakan seluruh garis keturunan jenderal besar. Dia pasti sangat mencintaimu begitu dalam, karena dia juga tidak pernah menikah sepanjang sisa hidupnya. Dan kemudian setelah ia kembali ke dunia akhirat, dia mulai mengingat masa lalu. Orang lain mungkin beranggapan, sebagai mahkluk surgawi, Tuan Moxi tidak akan ambil pusing soal masa lalu. Namun pada akhirnya dia masih berbuat hal ini padamu. Sepertinya ... dia tidak berhenti mencintaimu. Tuanku menghukummu selama lima puluh tahun sudah jelas karena dia ingin menyingkat waktumu dan waktunya di dunia. Dia tidak mau kau menjadi ujian takdirnya lagi.”

“Dia melindungimu, sayangku,” Yanwang memberitahuku pada akhirnya.

Aku membeku mendengar kata-katanya.

“Mereka yang ada di surga melihat remeh kepada kita di dunia akhirat. Sansheng, lakukan yang terbaik untuk merayu Tuan Moxi. Hanya dengan demikian dunia kita ... ahahaha, kau paham maksudku kan?”

Tawa membahana Yanwang terdengar semakin jauh dari telingaku. Hanya satu kalimat yang terngiang di telingaku berkecamuk dalam pikiranku.

Dia sedang melindungimu, sayangku.

_______________________________________________________________________________
Menerjemahkan cerita pendek nampaknya memang sedikit lebih mudah ketimbang menerjemahkan cerita panjang. Tidak perlu lama-lama tau—taunya sudah sampai pada bagian akhir. Untuk jangka pendek mungkin menyenangkan. Tapi untuk cerita yang punya banyak chapter, meskipun ceritanya puanjaaaang dan lama namun kesannya dalam, kita tidak harus cepat-cepat berpisah dengan karakter kesayangan kita dalam waktu singkat. Cerita yang panjang membuat kita bisa mendalami karakter tiap tokoh dan diakhir cerita kita tidak bisa dengan mudah melupakan ceritanya.

Namun lagi-lagi, waktu sangat cepat berlalu, sementara yang dikerjakan banyak sekali. Aku takut pembaca jadi cepat bosan, karena itu aku memilih cerita pendek untuk segera diselesaikan sembari aku ‘berjuang’ menerjemahkan novel panjang Lost You Forever.

Aku suka membaca, namun aku tak pandai menulis ahahahha .... my imagination is rather wild but I can’t write in on paper, for now I am quite satisfied just to translate.... till when? Only heaven knows ^_^
________________________________________________________________________________


  

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...