Monday 4 September 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 8

Chapter 8 : Mungkin benar adanya kalau ini memang ujian cinta

Aku tidak memiliki niat untuk pergi dari gunung Liubo setelah memusnahkan pagoda seribu-gembok. Meskipun aku tidak terlalu suka pada watak Moxi dikehidupan yang sekarang, aku tak sanggup membayangkan dia jatuh ke pelukan orang lain. Paling tidak, aku bertekad untuk melindungi dan membantunya menjaga kemurniannya selama dia hidup.

Namun kaum pendeta tua gunung Liubo tidak tau harus berbuat apa kepadaku. Mereka juga tidak bisa mengurungku atau mengalahkanku. Malam itu, rambut mereka rontok hebat karena stres.
Pada akhirnya, Moxi-ku lah yang memberikan solusi: “Kurung dia di kediamanku. Aku sendiri yang akan mengawasinya.”

Selagi kerumunan bergumam ini itu, aku orang pertama yang menganggukkan kepalaku, yang membuat Moxi membelalakkan matanya kepadaku.

Seketika membayangkan akan tinggal bersama dengan Moxi dikediaman yang sama, dengan senang hati aku menarik semua keluhan yang ada didalam hatiku.

Liubo adalah representasi tanah suci adri kaum beragama. Zhonghua adalah pimpinan kuil Liubo. Secara logika, kediamannya pasti tidak terlalu buruk.

Akan tetapi seketika aku sampai dikediaman Moxi, rasanya aku ingin menangis.

Sebuah hutan pohon plum yang sunyi nampak ganjil dibalik kemegahan gunung Liubo. Saat ini belum masuk musim dingin, namun permukaan hutan dipenuhi dengan salju. Disana, rumpun bunga berwarna merah bermekaran dengan indahnya, menyeruakkan wewangian bermil-mil jauhnya. Segalanya seolah tercipta oleh kekuatan magis.

“Ini ... bunga ini...” Suaraku terdengar agak bergetar.

Orang yang tidak berkepentingan dilarang memasuki kediaman Zhonghua, saat ini, hanya kami berdua yang berada disini. Selagi dia memandang hutan plum, pembawaannya sedikit lebih tenang dan dia menyahut perkataanku dengan lebih ramah: “Beberapa dari sedikit hal yang aku suka.”
Aku mencoba mengenyahkan air mata dipelupuk mataku.

Moxi, Moxi, meskipun kau mabuk karena sup si Tua Meng, kau tidak bisa melupakanwangi bunga ini dan kemurnian salju? Kau masih ingat hutan plum yang damai?

Hutan plum diselimuti kekuatan magis yang diciptakan oleh Zhonghua untuk menjaga kondisinya tetap indah seolah-olah di musim dingin. Masuk ke dalamnya seolah-olah masuk ke dalam tempat khayalan Moxi.

Aku merasa senang biarpun terkurung disini bersamanya.

Melihatku masuk kedalam mantra sihirnya, Moxi tak mengatakan apa-apa dan segera berlalu pergi. Aku menatap punggungnya yang menjauh sambil menyentuh salju yang menutupi buah plum. Rasanya seperti kembali ke masa lalu, jauh ke masa ketika seorang pendeta yang meng-angguk-anggukkan kepalanya kepadaku mengatakan: “Ujian cinta.”

Mungkin memang benar ini ujian cinta.


Ujian cinta sebuah batu ....

Waktu berlalu tanpa ada kejadian berarti. Tak peduli bagaimanapun indahnya pemandangan, lama-lama aku bosan juga. Aku pikir ada baiknya meminta beberapa buku kepada Moxi untuk menghibur hari-hariku yang membosankan, namun bayangannya pun tak bisa aku temukan berhari-hari. Aku kecewa berat.

Hari demi hari, aku duduk di garis batas kekuatan sihir yang mengurung kediaman Moxi sambil menggambarkan lingkaran-lingkaran kecil diatas tanah sambil menggumamkan nama Moxi. Tentu saja, nama yang aku gumamkan adalah Zhonghua.

Meskipun aku sudah mengerahkan usahaku, dia tak pernah muncul.

Namun ketika aku berhenti memanggil namanya, hanya dalam beberapa hari akhirnya dia muncul juga.

Saat itu, aku sedang belajar seni kuno membuat teh dengan menggunakan salju yang telah mencair. Tentu saja, aku tidak punya teh, jadi aku memotong batang pohon plum dan menggunakan rantinya untuk membuat api untuk merebus bunganya, mencoba untuk melihat apakah bunga-bunga plum bisa jadi bubur.

Sembari aku menimbang-nimbang apakah akan menebang sebatang pohon lagi, Zhonghua tiba dengan tampang tidak setuju.

Aku melambai dengan anggun.

Dengan kasar dia melewatiku dan memandang pohon plum yang sudah tumbang, bertanya: “Apakah kau merebus bunga plum?”

“Tidakkah menurutmu ini kegiatan yang menyenangkan, Yang Agung?”

Dia mencemooh: “.............................

“Baiklah,” aku menunjukkan tampang serius, “ Kita harus lihat jenis kayu apa harpanya dibuat. Kayu yang baik tentunya akan menimbulkan aroma daging yang sedap. Batangnya juga tidak boleh terlalu tua. Kalau tidak, kayunya akan sia-sia.”

Dia menarik nafas panjang dan setelah lebih tenang berkata: “Kau dilarang menyentuh pohon plum dari sekarang.”

“Tidak bisa.” Aku menggelengkan kepalaku merasa benar. Melihat tampangnya yang hampir meledak karena marah, aku menambahkan; “Rasa bosanlah yang membuatku membunuh pohon plum-mu. Kalau aku tidak terlalu bosan, aku tidak akan punya waktu memerhatikan mereka. Aku sudah berdiri berhari-hari memanggilmu namun mengapa kau tidak menjawab panggilanku?”
“Apa yang kau inginkan?”

“Buku. Terbitan terbaru. Dan juga semangka dan teh hijau.”

“Kami tidak melayani tamu disini di gunung Liubo.” Dia berkata sambil berlalu.

“Pohon-pohon ini pasti tidak tumbuh dengan mudah, namun aku kira cukuplah untuk beberapa hari.”
Tubuhnya yang sudah beranjak pergi nampak terhenti sesaat.

Ketika aku bangun pagi di keesokan hari, tumpukan buku tergeletak dilantai.

Aku membuka halaman buku sambil terkikik. Moxi, Moxi, meskipun kau nampak garang namun kau tetap imut!

Hari-hariku berjalan lebih baik dengan ditemani buku-buku. Lagipula, aku sudah menghabiskan banyak waktu sia-sia di dunia akhirat, lebih baik aku disini mendampingi Moxi di antara hutan plum dan salju.

Suatu hari yang cerah, moodku sedang bagus dan memutuskan untuk berjalan-jalan. Aku mn, membawa sebuah buku sambil berjalan perlahan dibawah bayang-bayang hutab sambil menghirup aroma bunga sepanjang jalan.

Rasanya seperti kembali ke masa silam. Ketika aku dengan santai tinggal dirumah. Dan, Moxi kembali dari sekolah. Dia membuka pintu, membiarkan sinar matahari masuk, dan dengan lembut memanggil namaku: “Sansheng.”

Sambil menikmati kenangan indah, aku menutup mataku dan membayangkan Moxi berada disampingku. Dia menyesuaikan langkahnya dengan langkahku, cukup dekat sehingga kapanpun aku ingin bersandar dia ada dalam jangkauanku kapan pun aku mau.

Aku berjalan dan berhenti, berjalan dan berhenti, seolah-olah Moxi berada disana menemani setiap langkahku. Aku membuka mataku. Bunga plum masih berada ditempatnya berselimut salju di depan mataku, namun ketika aku menoleh ke belakang, aku terkejut melihat Moxi berdiri diantara rumpun batang plum, memandangku entah sejak kapan.

Aku tersenyum sambil menahan kata “Moxi” di ujung lidahku sebagai kata ganti “Zhonghua.” 

Mengacuhkan seringai tidak sukanya, aku dengan sumringah berjalan ke arahnya dengan lengan terbuka.

Dia berkelit untuk menghindariku. Aku pikir aku akan memeluk udara kosong karena dia berkelit, namun pada akhirnya aku merasa sesosok tubuh kecil yang bergetar. Aku memandang sosok dalam pelukanku dan cukup terkejut melihat seseorang disana: “Chang’an! Apa yang kau lakukan disini?”
Sosok ini adalah pendeta muda yang berpikir bahwa aku akan menghirup yang darinya untuk memperkaya yin-ku. Dia benar-benar mirip Moxi sehingga aku tak bisa tak menyukainya.

Tak sanggup berkata apa-apa selain mengangguk, dia tidak memberikan jawaban apa-apa kepadaku.
Aku memandang Moxi dengan mata bertanya. Dia menatap galak ke arah Chang’an dan berkata dengan dingin: “Renungi kesalahanmu,” kemudian mengibaskan jubahnya dan berlalu.

Ketika chang’an melihatnya pergi, Chang’an membebaskan dirinya dari dekapanku dan berlari mengejarnya, terjerembab di tanah sambil menangis dan mengeluarkan ingus. “Yang Agung! Yang Agung! Jangan tinggalkan aku sendiri disini! Aku tak mau mati! Aku tak mau mati!”

Aku mengusap keringatku. Apa yang sudah kulakukan sampai pantas menerima semua ini? Ketika kami memukuli pendeta-pendeta kecil tempo hari, bukankah aku tidak menyentuhnya? Namun sekarang anak tidak tau terima kasih ini malah takut padaku?

Moxi mengibaskan lengan bajunya dan membantu Chang’an bangkit. Dengan garang melemparkan pandangan ke arahku, dia berkata: “Satu bulan hukuman sudah cukup ringan mengingat kau sudah berani bertengkar dengan sesama teman sekelasmu sampai membuat temanmu terluka. Hentikan tangisanmu, sungguh memalukan.”

Aku mengedipkan mata dengan cepat, akhirnya paham dengan tujuan Moxi. Mungkin menurutnya, dengan menilik perbuatanku tempo hari Moxi yakin bahwa aku bukanlah iblis yang haus darah. Dengan pertimbangan ini dia yakin membawa Chang’an kesini untuk menjalani hukuman untuk membuatnya takut.

Apa lagi yang bisa aku lakukan kalau begitu?

Moxi mengibaskan jubahnya dan berlalu pergi, meninggalkan Chang’an yang terduduk di tanah sambil menangis tersedu-sedu sampai seluruh tubuhnya berguncang.

Aku mencolek kepalanya. Dia memandangku dengan mata bengkak. Dengan ramah aku tersenyum kepadanya: “Ayo kita bicara.”

Setelah berjuang hampir setengah hari, membujuk dan mengelabui, aku akhirnya paham mengapa ia di kirim kesini.

Bicara soal ini, tentu tak bisa dilepaskan dari kejadian yang menumpa pagoda seribu gembok ketika aku membantu membebaskan iblis serigala. Aku pikir hu’yi akan pergi jauh selepas aku membebaskannya, namun siapa tau dia ternyata iblis yang keras kepala. Bukannya bersembunyi, dia malah mengumpulkan beberapa iblis untuk menyerang gunung Liubo.

Dengan segera ketika rencana para iblis ini tercium maka kuil gunung Liubo tidak akan tinggal diam. Kaum tersohor dari berbagai kuil tesohor segera dikerahkan untuk menghadapi serbuan para iblis.
Dalam situasi seperti inilah kisah Chang’an dimulai. Dikisahkan bahwa para murid gunung Liubo sedang sibuk menyiapkan segala keperluan untuk acara makan malam keesokan harinya. Changwu, yang menderita pukulan dari iblis Hu’yi terakhir kali masih belum bisa bangkit dari tempat tidur. Dia merasa sangat bosan dan ribut mau makan buah-buahan yang dipersiapkan untuk menyambut para tamu. Ketika tak sengaja dia melihat Chang’an sedang melintas membawa buah-buahan, Changwu segera meminta sedikit buah, karena Chang’an anak yang jujur, tentu saja dia menolak. Satu pihak mendesak satu pihak menolak dan pada akhirnya pertengkaran tidak bisa dihindari, dan ketika Chang’an sudah tak bisa menahan diri lebih lama lagi, tak sengaja dia mendorong Changwu.
Karena Changwu masih dalam keadaan cedera, kepalanya terhantuk ujung tempat tidur ketika dia terjatuh. Kejadian ini disaksikan oleh salah satu tetua yang kebetulan melintas. Melihat Changwu yang menangis histeris, tak ada kesempatan bagi Chang’an untuk membela diri ...

Dan begitulah, dia berakhir disini ...

Sedih sekali melihat wajah yang begitu mirip Moxi menangis dengan air mata dan ingus bercucuran. Aku mencoba segala cara untuk membujuknya, bahkan bersumpah untuk membalaskan dendam. Pada akhirnya dia berhenti menangis, dan setelah terisak-isak dalam waktu yang lama, dia bertanya kepadaku, “Kau ... kau ingin membersihkanku, kemudian ... kemudian akan memakanku, kan?”
Aku mengerucutkan bibir. Ingin sekali rasanya aku mencari tau ide apa yang sebenarnya kaum guru tanamkan dikepala anak-anak ini. Aku mencubit pipinya, tersenyum licik. “Tentu saja. Tapi aku Cuma mau makan Tuan Agung-mu. Aku ingin memakannya sampai bersih, sampai dia mati kelelahan!”

“Tuanku, tuanku yang agung ...”

Aku meletakkan tanganku tepat dibahagian jantungku dan berujar dengan segenap hatiku: “Ya benar, kau memang anak yang cukup rupawan, meskipun sayangnya masih terlalu muda. Tuanmu, sebaliknya, sudah lama mencuri hatiku. Hatiku dipenuhi oleh dirinya, pikiranku dipenuhi oleh keagungannya. Aku memikirkan suaranya sebelum tidur, aku teringat wajahnya ketika aku terjaga. Aku merindukannya setengah mati bila aku tak bisa melihatnya, namun ketika aku bertemu dengannya hatiku berkecamuk. Hanya langit yang tau sudah berapa lama hatiku jadi miliknya. Aku sangat mencintainya, dan aku tak tau bagaimana caranya berhenti. Aku hanya ingin dia tau bagaimana rasanya ...”

“Tuanku yang agung.” Chang’an menunjuk ke satu arah.

Aku berbalik, namun yang aku lihat hanya sekelebat jubah berwarna putih di balik pohon plum, membuat tumpukan salju diujung dahan luruh ke tanah. Sosok itu berlalu sangat cepat sampai aku tak menyadari keberadaannya.

Dan begitulah dia menghilang ...

“Apakah itu benar yang agung Zhonghua?”

Chang’an mengangguk, setelah termenung sejenak dia berkata, “Ketika dia pergi, wajahnya merah.”
Tersedak, aku mendesah pelan sambil bergumam: “Moxi, Moxi, bagaimana kau bisa begitu tak berguna dikehidupan kali ini? Yang kulakukan hanya menyatakan cintaku kepadamu ...”

Meskipun malam hari cuaca menjadi dingin, tidak sampai membuat beku menurutku. Dan aku telah lama berada disungai Wangchuan, jadi aku tidak takut dingin. Namun Chang’an berbeda. Tak peduli bagaimanapun berbakatnya dia, dia tetap saja manusia biasa. Aku membentangkan sehelai selimut untuk alas tidurnya di dalam kabin yang kecil, menyalakan api unggun, dan aku bermalam diluar.
Mengapa aku tidur diluar? Sudah jelas kalau anak itu melihatku tidur disampingnya, anak itu tidak akan berani tidur!

Lagipula, aku cuma roh.

Ketika aku terjaga keesokan harinya, aku cukup terkejut melihat Chang’an menyelimutiku dengan sehelai selimut. Melihatku membuka mata, dia kaget, bergetar seperti dedaunan, dan mundur menjauh. Dia berjalan mundur dengan gontai sebelum terjatuh dalam posisi yang aneh. Aku berdiri hendak membantunya bangkit, namun dia terjerembab dan segera berlari.
Uluran tanganku terhenti dan pembuluh darahku menonjol. Aku berusaha menahan kekesalanku namun sulit sekali rasanya. Selagi sumpah serapah akan keluar dari mulutku, tiba-tiba kepalanya muncul dari salah satu sudut dan berkata: “Umm...umm, kau tidur didalam saja malam ini. Diluar sungguh dingin ...”

Aku menatapnya dalam diam sebelum berkata: “Namaku Sansheng.”

Dia mengerjap. Setelah cukup lama dengan hati-hati dia menyebut namaku: “San ... Sansheng.”

Merasa cukup puas, aku mengangguk dan masuk ke dalam rumah untuk mencari buku yang sebelumnya dikirimkan Zonghua beberapa hari lalu, dan bersandar nyama dibatang pohon plum dan membaca dengan santai. Bukunya berkisah tentang sebuah pertemuan, antara sebuah cermin retak yang menemukan kembali pecahannya. Moodku sedang baik, dan semua perhatianku tertuju kepada kisah dalam buku.

Aku mengacuhkan Chang’an dan dia sudah pasti tak berani menggangguku. Hari berlalu dengan damai ... kalau bukan karena acara jamuan makan malam, pastinya.

Dengan ancaman kaum iblis semakin mendekat, jamuan makan malam gunung Liubo untuk mengumpulkan sekte-sekte terkemuka dijadwalkan malam ini akan berlangsung.

Aku menyelesaikan bacaanku ketika malam menjelang. Ketika aku menatap langit, kau melihat gunung Liubo dipenuhi sinar terang. Sangat terang sampai langit juga cemerlang.

Barikade sihir Zhonghua sangat sakti hingga tak ada kesempatan bagiku untuk menyelinap keluar. Selain merayu Moxi, mencuri dengar adalah hobiku. Selama ini aku punya banyak sekali waktu luang dan sudah bosan rasanya berjalan di sekeliling hutan plum. Memutuskan tidak ada kelemahan barikade, aku menyerah dan bersiap-siap untuk tidur.

Seketika, aku melihat dua sosok berjubah putih menyeberang dari pintu belakang kuil. Penasaran, aku melihat lebih dekat. Hey! Bukankah itu Zhonghua dan biarawati yang mereka sebuh ‘guru besar’ ...?

Aku melihat biarawati itu menarik ujung jubah Zhonghua. Gerakannya nampak tergesa namun karena aku tidak bisa melihat wajah Zhonghua, aku tidak tau bagaimana ekspresinya. Gerak-gerik mereka membuat imajinasiku menjadi liar ...

Tanpa sadar aku menggeretakkan gigiku dan mengepalkan tanganku.

Apa yang sedang kalian lakukan?!

_______________________________________________________________________


..... [sigh] ... [sigh] ....[sigh] ..... sorry, sometimes life is just ... well ... begitulah


_______________________________________________________________________

No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...