Sunday 23 July 2017

Chapter 5 -- Tuan Muda -- PRODIGAL SON

Chapter 5 : Tuan muda sukses

Karena kejadian kotak makanan, Tuan muda marah padaku selama setengah bulan. Kemudian, dia jadi sangat sibuk jadi dia lupa kalau masih marah. Malah sebenarnya, aku tidak bisa melihat Tuan muda sekarang – setiap pagi, dia pergi pagi buta dan pulang larut malam. Kadang-kadang, dia hanya pulang untuk tidur setelah dua atau tiga malam. Wajah Tuan muda yang dulunya putih bersih agak menggelap. Tetapi, ada satu perubahan yang aku pikir cukup bagus – Tuan muda menjadi kuat.

Sebenarnya, tubuh Tuan muda tidak bisa dibilang lemah sebelumnya. Akan tetapi, karena cederanya, seluruh tubuhnya kelihatan agak lemah. Setelah beberapa bulan ini, punggung Tuan muda semakin lebar dan dadanya semakin tebal. Bahkan dua lengannya menjadi kokoh. Suatu kali, Tuan muda pulang larut dan mengajakku makan bersama. Aku bilang akan segera menyiapkan meja namun Tuan muda bilang tidak perlu, kami bisa langsung makan di dapur.

Tuan muda duduk diatas kursi kecil, memegang semangkuk nasi dan makan dengan suapan penuh – aku melihatnya dengan tertegun. Tuan muda meletakkan mangkuknya dan berkata dengan santai, “Mengapa kau memandangiku?”
Dengan cepat aku menundukkan kepalaku. Tuan muda berkata, “Angkat kepalamu.” Suaranya rendah namun tidak dalam nada marah.

Tuan muda bertanya, “Mengapa kau terus memandangiku?”

Aku merasa otakku ditarik selagi aku membuka mulutku, “Pelayanmu sedang melihat .... melihat perubahan pada Tuan muda.”

“Ah?” tuan muda sudah makan sampai kenyang dan pembawaannya sedang santai. Dia menatapku dan kembali bertanya, “Apanya yang berubah?”

Aku bilang, “Berubah dari sebelumnya.”

Tuan muda tertegun, dengan santai meletakkan tangannya di atas kakinya, dia berkata dengan suara rendah, “Memang, telah berubah.”

Aku tau ia salah paham dan menggoyangkan tanganku dengan panik, “Bukan ... bukan soal itu.”
Tuan Muda melihatku dan tidak bicara. Aku hanya fokus untuk menjelaskan, “Perubahan yang sedang pelayanmu bicarakan ... adalah .... adalah dibagian lain.”

Tuan muda berkata, “Bagian apa?”

Aku berpikir panjang dan menyerukan, “Tuan muda sudah jadi hitam.”

Setelah bicara, aku ingin sekali menampar diriku. Tuan muda tertegun beberapa saat dan kemudian tertawa. Dia menyentuh wajahnya dan mengangguk, “Ya, memang hitam.” Dia menyentuh wajahnya dan merasakan sekeping kulit mati. Dia mengupasnya dan berkata, “Lebih kasar juga.”

Aku menatap dagu dan alis mata lebat Tuan muda. Dia memakai jubah yang terbuat dari kain kasar, sabuk dipinggang, bergeser sedikit saja akan menyebabkan jubahnya kelihatan ketat. Pada saat itu, aku mengingat pakaian sutra, pria yang memeluk wanita cantik dan bermain di danau Barat hanya ada dalam mimpi sekarang.

Sementara aku terhanyut dalam pikiranku, Tuan muda menatap dan bertanya, “Tuan yang mana yang lebih baik?”

Suara Tuan muda berubah, lebih serius, dan lebih dewasa. Terkadang aku merasa sedang melayani Tuan besar Yang. Mendengar pertanyan Tuan muda, aku tidak sempat berpikir dan menjawab, “Yang sekarang.”

Tuan muda kelihatan gugup, namun setelah aku menjawab, bahunya menjadi rileks. Dia membelai kepalaku, “Pergilah tidur.”

Dengan mengantuk, aku kembali kedalam rumah untuk tidur. Setelah beberapa waktu, Tuan muda tidak bisa keluar setiap hari. Karena, musim hujan telah tiba. Pada awalnya, aku tidak terlalu memerhatikan dan berpikir bahwa Tuan muda suka beristirahat belakangan ini. Namun, suatu kali aku hendak keluar buang air kecil pada malam hari, ditengah hujan yang turun dengan sangat deras, aku mendengar suara dari dalam kamar Tuan muda.

Aku pergi ke arah jendela untuk mendengar. Itu suara Tuan muda. Suaranya terdengar seperti suara kesakitan. Suara kesakitan yang membuatku sampai tidak tau mau berbuat apa. Aku menepiskan payungku dan membuka sedikit celah dijendela untuk mengintip. Di dalam kamar yang gelap, Tuan muda meringkuk, kedua tangannya memegang kakinya, mulutnya menggigit penghangat, lagi dan lagi dia mengeluarkan rintihan tertahan. Hujan masih turun diluar, udara dingin menyeruak masuk ke dalam kamar dan Tuan muda tiba-tiba mengangkat kepalanya. Dibawah sinar bulan, wajahnya berkerut menahan sakit, seolah seluruh wajahnya telah dibasahi air hujan. Ketika dia melihatku, dia tidak memalingkan wajahnya, matanya sendu. pikiranku panik. Aku berbalik dan berlari keluar. Aku tidak membawa payung. Aku tidak memakai jubah. Aku berlari ke toko obat dan mengetuk pintunya. Asisten toko keluar seolah ingin memukuli seseorang namun ketika dia melihatku dia mundur selangkah.

Aku tau penampilanku tidak ada bedanya dengan hantu perempuan. Pemilik toko terbangun dari tidurnya dan merasa tidak senang. Aku berlutut dan menyembah kepadanya. Aku mengoceh dengan panik, hanya terus mengulang memohon, memohon padanya untuk menyelamatkan Tuan muda. Setelah lama kemudian, dia akhirnya menuliskan resep dan memberikan satu paket obat-obatan. Aku takut obat akan menjadi basah dan menyimpannya dibalik bajuku. Aku berlari pulang seperti orang gila. Setelah merebus obat, aku dengan hati-hati meminumkannya kepada Tuan muda. Tuan muda yang baru saja menjadi kuat didepan mataku beberapa waktu belakangan, berubah menjadi seperti anak yang lemah, dia bersandar dilenganku dan jatuh tertidur.

Keesokan harinya, Tuan muda baikan. Dia memandangku, dan untuk waktu yang sangat lama tidak bicara. Setelah perjuangan kemarin malam, bajuku masih basah, rambutku menempel dikeningku, lutut dan dahiku dipenuhi kotoran dan darah.

Mungkin karena sakit yang dideritanya, mata Tuan muda sedikit merah. Dia melambaikan tangannya ke arahku dan berkata dengan lembut, “Kemarilah.” Seluruh tubuhku sangat kotor dan aku tidak berani mendekat. Aku berkata, “Tuan muda, biarkan pelayanmu ini mengganti baju terlebih dahulu.” Tuan muda memandangku, bibirnya bergetar dan akhirnya menganggukkan kepalanya.

Rasanya aku semakin tidak mengerti Tuan muda. Tak berapa lama, sakit Tuan muda sembuh dan dia menjadi semangat lagi. Pada saat itu, Tuan muda pertama juga pulang. Tuan muda pertama pulang dalam keadaan yang lebih buruk dibandingkan dengan ketika Tuan muda pulang setelah cedera. Tuan muda pertama pulang dengan dibopong oleh Yuan Sheng dalam keadaan putus asa. Aku sangat terkejut. Yuan Sheng menarikku ke tepi dan memberitahuku dengan suara kecil, “Tuan muda pertama telah ditipu oleh seseorang dan semua uangnya hilang.” Setelah dia selesai menjelaskan, dia menoleh ke kanan dan ke kiri dan bertanya dengan heran, “Ah? Bagaimana tumah ini punya banyak barang baru?”

Aku menegakkan tubuhku dan menjawab, “Tuan muda yang membelinya.”

Yuan Sheng sangat terkejut. Aku menceritakan apa yang terjadi selama beberapa bulan belakangan dan bola mata Yuan Sheng seolah mau keluar. Selagi aku mau melanjutkan ceritaku, Tuan muda pulang. Melihatku dan Yuan Sheng berdiri disatu sudut sedang berbincang, wajahnya berubah menjadi hijau. Aku segera menepuk tangan Yuan Sheng dan bilang Tuan muda sudah pulang dan kami tidak boleh ngobrol. Setelah melihat ini (mungkin maksudnya melihat Monkey menyentuh tangan Yuan Sheng, dwaaaaawwww cemburu kelihatannya) , wajah Tuan muda semakin hijau. Karena itu, sebagai balasan karena telah bicara dibelakang majikan maka Yuan Sheng tidak mendapat makan malam. Namun kenapa aku boleh makan malam? Aku tidak tau. Setelah mengetahui Tuan muda pertama ditipu orang, ekspresi wajah Tuan muda tidak menyenangkan. Dia memanggil Tuan muda pertama masuk ke dalam rumah dan bicara dengannya sepanjang siang. Ketika dia keluar, Tuan muda pertama bilang cara bicara Tuan muda sama seperti Tuan besar Yang bicara.

Aku melihat dari jauh. Meskipun Tuan muda jauh lebih pendek dari orang lain, namun aku merasa orang yang perlu dilihat dengan hormat adalah Tuan muda. Setelah hari itu, Tuan muda pertama tinggal di rumah untuk mengurusi rumah tangga dan Tuan muda yang melakukan perjalanan keluar. Sejak saat itu, kapanpun dia pergi, dia pergi selama dua bulan. Perlahan, rumah-tangga mulai berubah. Pada penghujung tahun, kami pindah kerumah baru. Meskipun tidak sebesar Graha Yang dahulu, namun cukup bagus dan kami menambah beberapa pelayan baru. Yang patut disayangkan adalah meskipun kami pindah, Tuan muda tidak ada dirumah. Aku tidak tau apa yang Tuan muda katakan kepada Tuan muda pertama ketika dia pergi, namun Tuan muda pertama tidak membolehkanku mengerjakan tugas rumah. Dia bahkan memberikanku beberapa pasang baju baru untuk dikenakan. Yuang Sheng memberitahuku, “Kau berhasil.” Aku tak mengerti apa yang dia maksud.

Lama setelah itu, Tuan muda pulang sekali. Namun, dia pulang tengah malam dan pergi lagi sebelum matahari terbit. Ketika aku bangun, Yuan Sheng memberitahuku bahwa Tuan muda tetap berada dikamarku sepanjang malam. Aku tidak tau mengapa Tuan muda tidak membangunkanku. Setengah tahun berlalu, dan Tuan muda kembali. Saat ini, seluruh kota HangZhou membicarakan tentang Tuan muda. Mereka memberinya julukan – Dewa keberuntungan setengah. Aku ingin mengatakan Dewa keberuntungan cukup bagus, tapi mengapa harus setengah. Namun Tuan muda tidak terlalu memedulikannya.

Ketika dia kembali saat itu sedang musim dingin dan aku sedang membersihkan halaman. Meskipun penjaga rumah tidak mengijinkanku melakukan pekerjaan rumah, aku selalu mengingat tugasku sebagai pelayan. Setiap hari, aku harus melakukan beberapa pekerjaan sebelum pergi tidur. Aku sedang menyapu daun dari lantai ketika aku berputar dan melihat seseorang duduk dikursi batu.
Aku bahkan tidak tau kapan Tuan muda duduk disana. Dia bahkan memegang secangkir teh ditangannya. Dia mengenakan pakaian sutra putih dan jubah luar berwarna hitam. Rambutnya diikat tinggi, ada cincin gading berwarna hijau gelap dijari jempolnya. Meskipun sederhana, pembawaannya memancarkan kemewahan yang tidak bisa dikatakan. Aku berkata, “Tuan muda, kau sudah pulang.” Dia menggumamkan sesuatu dan terus menatapku. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri lalu berkata,”Pelayanmu akan memanggil kepala pelayan.” Dia tidak mengijinkanku dan berkata, “Kemarilah.”

Aku berjalan mendekat, Tuan muda melihat sapu ditanganku dan berkata,”Apa ini?”

Ternyata Tuan muda masih suka menanyakan pertanyaan ini, aku berkata “Sapu.”

Tuan muda berkata dengan santai, “Campakkan.”

Aku tak akan membuang sesuatu di depan majikan jadi aku menepikan sapunya. Kemudian, dengan patuh aku berdiri didepan Tuan muda. Tuan muda mengamatiku dari atas sampai ke bawah dan berkata, “Malam ini, ganti pakaianmu dan ikut aku.”

Aku bilang ya. Ketika malam tiba dan aku berdiri didepan Tuan muda, ekspresinya kaku ketika dia berkata, “Aku tidak memintamu bertukar pakaian dari pakaian yang usang ke pakaian usang lainnya.” Aku menggumamkan kata “Ah” dan ragu apakah aku harus kembali dan menukar bajuku, namun Tuan muda mengibaskan tangannya dan berkata, ‘Lupakan, mari kita pergi.”

Danau barat sedang ramai. Aku melihat deretan perahu yang indah didanau dan terkejut ketika Tuan muda membawaku naik ke sebuah perahu yang paling besar. Sebelum kami naik ke perahu, banyak orang keluar dan tersenyum sampai mata mereka hilang. “Ahhh... Tuan muda, kami akhirnya bisa bertemu denganmu disini.” Sejumlah orang menyambut Tuan muda naik ke perahu dan mengikuti dari belakang.

Ini kali pertama aku naik perahu hias yang indah. Di dalamnya luas dan terang benderang dan penuh dengan hiasan menyilaukan. Ada dua meja dan sejumlah penghibur berpenampilan menggoda sedang memainkan instrumen musik dan bernyanyi. Aku menoleh dan melihat beberapa pelayan berdiri disalah satu sisi. Pakaian mereka tidak kelihatan usang sama sekali. Aku akhirnya paham mengapa Tuan muda ingin aku mengganti pakaianku. Aku membuatnya kehilangan muka lagi. Meskipun aku membuatnya malu, aku masih harus melakukan tugasku sebagai pelayan. Aku pergi untuk berdiri dibarisan pelayan dan dengan sopan menundukkan kepalaku. Ketika aku mendekat, sejumlah pelayan melihat heran kepadaku. Ah betul, aku tidak cocok berada disini. Aku memandang Tuan muda dengan rasa bersalah. Tak sengaja, dia menoleh ke arahku dan pandangannya sangat aneh, seolah berkata, mengapa engkau berdiri disana.

Dia mengangkat tangannya, “kemarilah.” Aku tidak bisa menolak dan berdiri disampingnya. Namun Tuan muda belum selesai, dia menepuk kursi disebelahnya. Aku tidak mengerti. Tuan muda bahkan tidak mau repot-repot menghabiskan nafas. Seorang pria yang sedang memerhatikan disalah satu sisi dengan cepat tersenyum kepadaku, “Nona Hou (bunyi kata pertama dalam bahasa Cina untuk monyet), ayo cepat duduk.”

Nona Hou? Dengan kaku, aku duduk.

No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...