Thursday 7 September 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 9

Chapter 9 : Apakah kita saling kenal?

Bersembunyi dalam kegelapan malam, aku mendengarkan pembicaraan mereka sambil berjongkok dibalik sebatang pohon plum.

“Senior!” suara biarawati itu terdengar mendesak. “Iblis serigala akan segera menyerang. Mengapa kau membiarkan iblis perempuan tinggal disini? Apakah tidak sebaiknya kita segera menghabisinya sesegera mungkin?”

Aku mendesah. Sudah ribuan kali aku bilang. Memang benar, asal-usulku tidak jelas, namun aku bukan monster! Aku bahkan sudah meluluh-lantakkan pagoda seribu gembok, apakah identitasku belum jelas juga?! Oh, bodoh! Manusia memang idiot!

Meskipun aku masih saja menggerutu, aku melihat Zhonghua mulai memberikan reaksi. “Kita bicarakan ini lain hari.” Suaranya terdengar serak dan lemah, seperti orang yang terlalu banyak minum.

Dia mabuk.

Biarawati itu tidak mau mengalah. “Senior, jangan bilang kau mulai peduli kepada iblis perempuan itu karena penampilannya yang rentan.”

Zhonghua tampak marah. Dia mengibaskan lengannya dan berkata dengan nada keras: “ Omong kosong apa yang kau ucapkan?!”

“Mari berharap aku cuma bicara omong kosong.” Dengan nada acuh dia berkata: “Senior, aku yakin kau belum lupa. Dari awal, karena guru juga berhati lembut ketika dia menerima iblis serigala Hu’yi disini. Hal itu menyebabkan keberadaan gunung Liubo terancam dua puluh tahun yang lalu. Qingling berdoa agar kau tidak mengulang kesalahan guru.”

Setelah diam beberapa saat, Zhonghua menggerakkan tangannya dan berkata: “Pergilah.”

Aku mengerucutkan bibir dan berpikir. Dari kata-kata biarawati itu, iblis serigala bernama Hu’yi mungkin sosok yang tidak setia yang membalas kebaikan dengan pengkhianatan. Berdasarkan pengalaman yang aku peroleh selama berdiam di sungai Wangchuan, menurutku kejadiannya tidaklah demikian.

Kisah dua puluh tahun lalu mungkin saja tidak sepenuhnya benar.

Setelah baiarawati bernama Qingling berlalu, Zhonghua tetap berdiri diam dibawah bayang-bayang malam sambil bersandar di dinding dan perlahan berjalan kembali masuk ke kamarnya.

Aku menarik nafas panjang sambil memerhatikan bayangannya yang terlihat kesepian.

Di masa lalu, ketika Moxi bersedih, aku selalu berada disisinya melindunginya dan turut meringankan penderitaannya. Aku tak pernah membiarkannya menderita atau terluka. Namun sekarang dia sudah menjadi tuan agung Zhonghua, dia tidak memiliki seorang teman pun untuk mendampinginya ketika dia mabuk. Keadaannya tidak lebih nyaman dari Chang’an yang sekarang pasti sudah terlelap dikamarku.

“Siapa disana?” tanyanya dengan nada curiga.

Aku mengerjap beberapa kali, ayu yakin dia pasti hidup sangat kesepian sampai-sampai suara desahan nafasku yang pelan pun tak lepas dari pendengarannya. Kalau desahan nafasku yang lembut saja bisa dia dengar meski dalam keadaan mabuk, kewaspadaannya disaat normal pastilah sangat luar biasa.

Mendengar tidak ada jawaba, Zhonghua menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. Aku tau aku tidak bisa sembunyi lagi, terang-terangan aku menampakkan diri dan memberikan salam dengan menyunggingkan seulas senyum. “Oh! Selamat malam!”

Ketika dia melihatku, alisnya bertaut dan segera berbalik pergi, seolah-olah dia melihat sesuatu yang sangat menjijikkan. Dia berjalan dengan langkah lebar, tak lagi sempoyongan seperti sebelumnya.
Aku terdiam membeku beberapa saat, menjadi sangat marah. Apa aku begitu menyeramkan hingga kau harus berlari menjauh dariku seperti itu?

“Berhenti!” teriakku.

Langkahnya semakin cepat. Hanya perlu dua langkah lagi sebelum dia menghilang.

Amarahku memuncak. Mau bersembunyi dariku? Aku mau lihat bagaimana kau menghindariku!
Aku berlari kembali kegubuk jelekku dan menyeret Chang’an yang sudah lelap tidur dari balik selimutnya. Dia mengerjap kebingungan. Aku menyeringai lebar. “Chang’an, bisakah kau membantuku?”

Seketika ia terjaga. Membeku beberapa saat, lalu menjerit ketakutan, dengan panik ia menggulung tubuhnya dan berusaha menutupi tubuhnya dengan selimut agar aku tak bisa meraihnya.
Dengan garang aku menarik kerah bajunya dan membawanya kejarak terdekat dengan ruang tidur Zhonghua. Menepuk wajahnya yang penuh air mata, aku memintanya untuk menangis :”Menangis, menangislah sekuat yang kau bisa!”

Dia menatapku dengan keheranan.

Aku memberikannya senyuman yang sangat manis. “Meskipun  yang kau bisa!”

Dia menatapku dengan keheranan.

Aku memberikannya senyuman yang sangat manis. “Meskipun yang  yang dalam dirimu masih lemah sekali, masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Dan meskipun hatiku sudah kuberikan pada Zhonghua, cukup sulit bagiku untuk mengendalikan keinginanku saat aku melihat bocah setampan dirimu. Apakah kau mau memuaskan hatiku?”

Chang’an ketakutan setengah mati, seolah-olah baru saja disambar petir.

Aku sudah menduganya. Di tengah malam gelap gulita, seorang perempuan tak dikenal menghambur masuk ke kamar, menculik dan berkata akan memakannya. Orang waras manapun pasti akan terkejut. Aku memberikannya waktu untuk mengatasi keterkejutannya, setelah beberapa lama, dengan puas aku mendengar jeritannya yang memekakkan telinga.

“Tidak!” Ketakutan, dia merangkak tubuhnya ke tepi barikade magis dan menggedor-gedornya dengan tangannya sambil berteriak: “Selamatkan aku, yang agung Zhonghua! Selamatkan aku! Chang’an masih sangat muda! Chang’an tidak mau mati!”

Dia meratap dan meratap. Zhonghua akhirnya muncul sambil memegangi kepalanya dan wajah yang menahan amarah. Dengan kesal dia menatap Chang’an kemudian menggerutu: “Bagus untukmu!”
Kalau kalian berada di posisi Zhonghua dan bertanya mengapa aku melakukan ini, jawabanku adalah kalau kalian melihatku dan langsung melarikan diri begitu melihatku maka kondisinya akan jauh lebih buruk.

Aku tersenyum sinis dan menendang bokong Chang’an sampai dia terjerembab. “Baiklah, karena Zhonghua-mu sudah disini menggantikanmu, aku akan mengampunimu kali ini. Pergilah kembali tidur.”

Chang’an melongok ke Zhonghua, dan kembali menatapku. Melihat situasi yang janggal antara kami berdua, dia merangkak bangkit dan berlari tanpa menoleh lagi.

Aku menatap Zhonghua, tersenyum dengan jahil. Dia menggosok dahinya, menutup matanya dan tak membalas tatapanku. “Ada apa?”

“Tak ada apa-apa.”

Pembuluh darah dibalik tangannya menonjol. Dia tak mengatakan apa-apa dan berbalik untuk pergi.
Sebelum dia berjalan keluar dari barikade magis, aku segera meraih ujung jubahnya. Mungkin karena dia masih dalam keadaan mabuk, dia tidak setangguh biasanya hingga aku mampu mencegatnya. “Mengapa kau bersembunyi dariku? Aku bukannya ingin memakanmu.”

“Mengapa aku harus bersembunyi? Katanya. “Kau tahanan gunung Liubo....”

“Tepat sekali, aku lah tahanannya. Kalau ada yang harus bersembunyi, tentunya akulah yang harus bersembunyi darimu. Mengapa kau melakukan ini? Apakah aku mengeluarkan asap atau ada rambut diwajahku? Apakah akan ada belatung yang menempel dimatamu bila kau melihatku? Apakah kau akan muntah atau akan diare bila melihatku? Apakah kau akan mengeluarkan darah sampai mati? Apakah kau a.....”

Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, dia menarik nafas yang panjang dan dalam, berbalik dan menatapku. Tatapannya biasa dan tulus. Namun aku tak semudah itu diyakinkan.

Aku melihat bola matanya yang bening dan kilauan bintang gemintang, salju putih dan wangi hutan plum, dan aku.

Semuanya tercetak jelas dimatanya.

Sudah lama sekali aku tidak melihatnya menatapku dengan intens seperti ini. Aku tak bisa menahan diriku dan ingin bersandar ke tubuhnya. Aku melepaskan genggaman tanganku dibajunya dan mengenggam tangannya.

Aku melihat diriku tersenyum dimatanya. Dia tidak menjauh dariku, tatapannya melunak. Senyumku semakin lebar.

“Dengan aroma salju dan kesunyian ini, dengan adanya dirimu, tak ada lagi yang Sansheng inginkan.”

“Dengan aroma salju dan kesunyian ini, dengan adanya Sansheng, tak ada lagi yang Moxi inginkan.” Kata-kata itu yang biasanya Moxi ucapkan dahulu.

Zhonghua nampak terkejut mendengar kata-kataku. Mengerutkan dahi. Dan kelihatannya meyadari sesuatu., dengan tangkas dia melepaskan dirinya dan mendorongku menjauh, akibatnya, dia jatuh terduduk diatas tumpukan salju. Dia tampak panik.

Aku ingin menghampirinya dan menawarkan pertolongan, namun dia menahanku dengan isyarat tangannya. Memegangi kepalanya, dia tetap duduk diatas tumpukan salju dan merenung.

“Mo... Zhonghua, kau...”

“Apakah kita pernah saling kenal?”
Bagaimana aku harus menjawabnya? Ya, kita saling kenal. Dimana? Di alam akhirat, ditepi sungai Wangchuan... Bila aku menjawab demikian, dia pasti berpikir kalau aku pasti bercanda.

Aku menggaruk kepalaku, dan berkata: “Hemm, kalau kau pikir aku terlihat familiar, pastilah ini takdir. Ya, takdir!”

“Takdir?” dia mencemooh. “Mengapa pula dunia ini punya banyak sekali takdir...?”

Mendengarnya bicara seolah-olah dia sudah melihat segala sesuatu di dunia ini, aku mengerutkan dahiku dan bertanya kepadanya, “Dan mengapa tidak? Pertemuan kita adalah takdir. Berdiri di sini dan saling berbincang juga takdir.” Untuk sebuah batu seperti aku bisa berada di dunia manusia untuk merayumu adalah takdir lain yang luar biasa. Tentu saja, aku tidak mengatakan ini kepadanya.
Dia berdiam diri di atas salju. Dibawah sinar rembulan, dia menatapku dengan serius, dan setelah beberapa lama, dia mengucapkan dua patah kata dengan sinis: “Terkutuklah takdir.”

Aku mengangguk. Takdir yang terkutuk tetap saja takdir. Takdir yang terkutuk bahkan bertahan lebih lama. Aku merasa senang, namun kemudian aku berpikir, ini tidak benar. Dari nada bicaranya, aku mestinya bereaksi sebaliknya. Aku mestinya tidak tersenyum. Lagipula... Aku melirik tubuhnya yang tergeletak di atas salju.

Posisinya tepat sekali bila aku melompat ke atas tubuhnya!

Aku mengacungkan jariku ke arahnya. “K...k ... kau! Kau yang paling menyebalkan!”

Dia menyipitkan matanya, ekspresinya tidak bisa dibaca.

Aku membalikkan tubuhku seolah ingin pergi karena perasaan terluka. Ketika posisiku sudah dekat dengan tubuhnya, aku berteriak: ‘Whoa! Kenapa licin sekali?”

Aku memosisikan tubuhku agar terjatuh dengan anggun diatas tubuhnya. Dengan gerakan yang akurat, mestinya aku jatuh tepat di atas dadanya, menirukan posisi wanita muda pemalu dipelukan pahlawannya.

Yang tak aku sangka adalah aku terjatuh persis seperti saat Zhonghua terpeleset sebelumnya, mendarat di atas tubuhnya dan kepalaku terhantuk kepalanya. Dan sungguh disayangkan, bibirku tidak bertemu dengan bibirnya, malahan terbentur ke dahinya.

Aku hanya mendengar erangan seorang pria dan tidak mengeluarkan reaksi apa-apa.

Saat aku memegangi kepalaku dan berusaha untuk bangkit, Zhonghua berbaring di atas salju dengan kedua mata tertutup. Terdapat dua jejak mengeluarkan dara akibat gigiku didahinya.

“Umm...” Tanpa sadar aku mengulurkan tanganku untuk menyentuh dahinya. “Hey...” Aku menepuk pipinya namun dia tidak bereaksi. Aku sedikit panik. Tak mungkin aku mengirimkannya langsung ke Yanwang, kan? Namun dia belum melalui ujian takdirnya. Akan ada masalah besar kalau begini.

“Zhonghua! Zhonghua! Tidak seburuk itu, kan?” Aku menggaruk kepalaku. Kau, tak peduli apa pun, Yang Agung Zhonghua. Kalau kau benar mati karena perempuan seperti aku, ini, ini ... kalau berita ini didengar orang lain, sungguh memalukan. Dengan segera aku menekan titik acupoint Zhonghua sambil terus bergumam: “Moxi, jangan biarkan aku tertimpa masalah, aku pasti akan dikutuk langit karena telah membunuh seorang Dewa yang sedang dalam masa ujian takdir. Moxi...”

Dengan bercucuran air mata aku terus saja memanggil namanya. Nampaknya dia memahami kesulitanku karena segera dia mengeluarkan erangan dan membuka matanya dengan perlahan. Dengan bahagia aku berulang kali memanjatkan puji syukur kepada Yanwang.

Dengan suara pelan dia memanggilku, “Guru...” sembari menatapku.

Aku membeku, aku mencium bau alkohol dari nafasnya. Aku pikir efek alkohol sudah merasuk ke kepalanya dan dia kehilangan akal sehatnya.

“Guru,” dia menyerukan kata itu lagi, “Mengapa...”

Dia berbicara pelan sekali sampai aku hampir tidak bisa mendengarnya. “Ada apa?” aku mencondongkan tubuhku ke arahnya dan mendekatkan telingaku ke bibirnya dengan hati-hati. Namun, pikiranku menjadi kabur begitu aku mendengar kata-katanya selanjutnya: “Mengapa kau memiliki perasaan seperti itu kepada Hu’yi?” dia bertanya.

Kesampingkan saja perasaan macam apa yang dimiliki oleh guru Zhonghua kepada Hu’yi untuk saat ini. Aku lebih penasaran kepada apakah guru Zhonghua ini laki –laki atau perempuan.

“Apakah gurumu laki-laki atau perempuan? Apakah gurumu jatuh cinta kepada Hu’yi? Sampai sejauh mana hubungan mereka? Apa yang terjadi kepada mereka? Mengapa Hu’ui dikurung di dalam pagoda? Dan dimana gurumu sekarang berada?” aku menanyakan sebanyak mungkin hal yang ingin aku ketahui, dan menanti jawabannya.

Namun kepalanya tergeletak diam, dia tertidur.

Aku mengepalkan tanganku.

Perasaan tidak puas dan penasaranku membuatku ingin sekali mengetuk dua lubang di dahinya. Namun melihat wajahnya yang tertidur dan tampak damai, aku akhirnya hanya bisa menghela nafas dan menyerah, merobek ujung gaunku dan membalut luka di dahinya.

Karena Chang’an tidur di dalam kamar, menyeret masuk gurunya ke dalama kamar rasanya sedikit kasar. Tidak pantas juga untuk melompat ke atas tubuhnya.

Aku menimbang beberapa saat, kemudian memutuskan untuk menyeretnya ke bawah naungan pohon plum dan membiarkannya tertidur dipangkuanku. Dan aku, aku menyandarkan kepalaku ke batang pohon plum, membelai keningnya, menggenggam tangannya, dan terakhir memberikan kecupan dibibirnya, dan aku tertidur dengan sangat lelap yang sudah lama sekali tidak aku rasakan.

Keesokan paginya ketika aku terbangun, aku melihat sepasang mata bening memandangiku dengan serius. Aku tersenyum kepadanya dan memberikan salam: “Selamat pagi Yang Agung! Kau masih disini?”

Dia menutup matanya dan menarik nafas dalam-dalam, terlihat seperti dia berusaha keras menahan diri untuk tetap tenang. Dalam waktu yang cukup lama, dia berkata dengan terpaksa: “Lepaskan ikatanku.”

Aku tertawa canggung, melepaskan ikatan yang menghubungkan lehernya dan kakiku, dan dengan perasaan tidak bersalah berkata: “Kau tak bisa menyalahkanku, aku takut kau akan melarikan diri dariku.”

Tanpa menungguku melepaskan ikatan sepenuhnya, dia membebaskan kakinya dan memelototiku.
Aku pasrah. “Aku tau kau akan segera melarikan diri begitu kau bangun dan pasti akan membantah bahwa kau menghabiskan malam bersamaku. Itulah sebabnya aku merapalkan banyak sekali mantra di tali ikatanmu. Cuma itu bukti yang mengatakan bahwa kau menghabiskan malam bersamaku. Mengikuti hukum yang berlaku di dunia manusia, kau harus bertanggung-jawab, Mo... Zhonghua.”

Setiap kali aku selesai bicara, wajahku akan bertambah suram, dan setelah aku meyelesaikan kalimatku wajahnya malah kelihatan memerah: “Me ... me ... memalu ...”

Dia bahkan terbata bata tak mampu menyelesaikan kata-katanya dan tubuhnya terlihat tegang menahan marah. Aku menarik nafas dan membantunya menyelesaikan kata yang ingin diucapkannya: “memalukan.” Bisa membuat Yang Agung Zhonghua yang berhati dingin seperti es yang membeku kehabisan kata-kata dan murka seperti ini sungguh prestasi yang luar biasa. “Tidak masalah apakah aku tak tau malu ataupun tidak. Zhonghua, kau tetap harus menikahiku.”

Dia menatapku untuk beberapa saat, kelihatannya sudah mulai tenang. Ekspresinya perlahan semakin menyeramkan. “Meskipun aku mabuk, aku ingat jelas apa yang sudah aku lakukan. Kau dan aku bukanlah mahkluk yang sama. Bagaimana mungkin aku melakukan seperti yang kau tuduhkan padaku kepadamu?”

Aku bertanya dengan penasaran, “Jadi kau tak bisa melakukan ‘itu’ kalau kau bukan mahkluk yang sama? Kalau begitu bagaimana dengan gurumu dan Hu’yi?”

Ekspresi Zhonghua langsung membeku. Dia menatapku seolah-olah ingin melumatku menjadi kepingan tak berbentuk. Dia beranjak pergi. Aku batu yang keras kepala. Kalau aku tidak emndapatkan jawaban yang jelas dari pertanyaanku, aku tak akan bisa tidur malam ini. Aku berlari menghampirinya dan berterika: “Hey! Bagaimana dengan gurumu dan Hu’yi? Apa yang terjadi di antara mereka? Gurumu... “

Sekelebat pukulan melewati telingaku, membentur salju dibelakangku dan membuat salju berputar di udara.

Aku membeku diam ditempat.

“Tahan lidahmu.” Dengan kasar dan dingin dia mengucapkan kata-kata itu kepadaku dan berlalu pergi.

Moxi tidak pernah melihatku dengan tatapan seperti itu. Bahkan tatapannya tidak sama dengan ekspresi ketika dia mengirimkan bola api ke kakiku ketika terakhir kali kami bertemu di alam akhirat, dia tidak memandangku dengan ekspresi sedingin ini.

Aku hanya pernah melihat ekspresi ini ketika di kehidupan yang lalu. Saat itu dua orang suruhan yang menerobos rumah kami dan berniat melecehkanku, ekspresinya sama seperti ekspresinya kala itu.

Dia kelihatannya tidak suka mendengar orang lain membicarakan tentang gurunya dan Hu’yi. Mungkin selain asal muasal yang berbeda antara manusia dan iblis, kebenciannya kepada Hu’yi juga lebih berlatar kepada perasaan. Nampaknya dia sangat memedulikan gurunya ...

Perasaannya kepada gurunya mungkin sedikit ... tidak biasa.

Oleh karena itu aku semakin penasaran apakah gurunya laki-laki atau perempuan.

_______________________________________________________

the truth, hari ini melelahkan sekali, dua asisten tak masuk kerja, jadilah kerjaan diborong sendirian. Tapi entah mengapa, masih juga semangat menyelesaikan terjemahan ini, mumpung masih semangat segera lanjutkan, tak ada pekerjaan yang sia-sia bukan?

_______________________________________________________





No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...