Tuesday 1 August 2017

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 1

Sansheng, Death Exist Not at the River of Oblivion
By Jiu Lu Fei Xiang
English Translation by hamster428.wordpress.com
Bahasa Translation by morningbreezeinqingshui.blogspot.com

Chapter 1

I’m going to the human world to seduce him (Aku akan turun ke bumi untuk merayunya)

Tidak tau sejak kapan, orang-orang yang melintasi sungai pelupaan (1) mulai menyebutku Batu Tiga Kehidupan (2). Setelahnya, orang-orang mulai mengacuhkanku, beberapa pasang kekasih datang dan mengukir kisah romantis mereka ditubuhku, dan ada juga yang meratap didepanku.
1.    1.  Sungai pelupaan disebut Wangchuan dalam bahasa mitologi Cina. Dalam mitologi Yunani disebut Lethe.

2.     2..  Dia disebut Batu Sansheng karena kata Sansheng bermakna ‘tiga kehidupan’. ‘Tiga kehidupan’ dalam konteks agama Budha bermakna kehidupan yang telah lalu, saat ini dan masa depan.

Begitupun, aku cuma sebuah batu ditepi sungai Wangchuan. Aku tak memahami arti kebahagiaan ataupun kesedihan.

Aku tergeletak  pasrah ditepi sungai Wangchuan selama seribu tahun sampai suatu hari nanti aku akhirnya bisa memiliki jiwa.

Semua mahkluk hidup akan mengalami ujian takdir, namun berabad lamanya aku tetap aman disini tak tersentuh sampai ....

Ujian cintaku datang.

Seorang pendeta dengan jenggot panjang berwarna putih yang melintas sungai Wangchuan membacakan ramalanku. Dia meramalkan tentang ujianku dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Aku menganggap dia cuma membual.

Aku ini hanya roh yang lahir dari sebuah batu; jiwaku terbuat dari batu dan hatiku juga batu. Hatiku sudah lama membeku oleh kegelapan yang menyelimuti sungai Wangchuan.

Tidak akan ada penderitaan karena juga tidak ada cinta. Kalau hatiku saja tidak pernah berdesir, maka dari mana pula ujian cinta ini akan datang?

Atau begitulah yang aku pikirkan.

Namun hal-hal mengejutkan bisa saja terjadi.

Di suatu siang yang sendu di alam bawah, tepat sekembalinya aku dari kebiasaanku berkeliling ditepi sungai Wangchuan. Aku memandang ke atas. Tak sengaja, seolah sinar matahari menembus tebalnya kabut, menyinari segerombolan bunga amaryllies kuning dan membuat suasana sekitar menjadi gemerlapan.

Seorang pria yang berwibawa datang mendekat.

Aku tiba-tiba teringat perkataan seorang perempuan yang dulu pernah melintas, bertahun-tahun lalu : “Sungguh pria yang gagah, sangat terhormat, sangat beradab.” (3)

3.    3.  Peribahasa yang menggambarkan karakter pria yang beradab seperti gading, diambil dari The book of songs, Odes of Wei.

Sudah bertahun-tahun, hati batuku jarang sekali tersentuh.

Perlahan pria itu mendekat, tentu saja bukan untuk mendatangiku, namun karena dibelakangku terbentang jembatan Naihe yang harus dilewati bila seseorang mau menuju ke alam bawah. Bukan hal mudah berpapasan dengan seseorang serupawan ini, jadi aku pikir pertemuan ini mestinya berkesan.

Aku melangkah mendekat dan menyapanya: “Tuan.”

Mungkin bagus bila aku membungkukkan badan sebagai tanda hormat seperti yang biasanya wanita baik-baik lakukan, aku pernah membacanya di dalam buku. Namun buku itu hanya menyebut ‘membungkuk hormat’. Tidak ada deskripsi yang jelas bagaimana sikap yang benar untuk melakukannya.

Aku menimbang beberapa saat, dan selanjutnya aku meniru gerakan Yanwang (penguasa neraka) dan berlutut tergesa-gesa sampai menimbulkan suara thud, menghantukkan kepalaku ke tanah tiga kali (kowtow), dan berkata ,”Siapakah nama Tuanku?”

 Pria itu menarik nafas sangat dalam. Dia berdiri dan nampak ada rasa terkejut dimatanya. Untuk beberapa saat dia tidak menjawab.

Setiap tujuan harus dilakukan dengan tulus, sama seperti keyakinan para prajurit hitam dan putih: “Ketulusan menghasilkan kesuksesan.” Kata-kata ini yang selalu mereka ucapkan agar semua jiwa manusia patuh mengikuti perintah mereka.

Mendengar tidak ada jawaban dari pria itu, aku berpikir mungkin aku kurang kuat menghantukkan kepala sehingga ia menganggapku kurang tulus. Aku merangkak, tidak menahan diri kali ini, dan menghantukkan kepalaku lebih keras tiga kali lagi.

Kelihatannya kowtow-ku kali ini benar-benar kuat sehingga bumi seolah bergetar. Pria itu terkejut dan nampak sedikit takut.

Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan wajah yang bercucuran darah. “Siapa nama Tuanku?”

Mungkin pemandangan wajahku yang penuh darah membuatnya takut. Dia tetap diam.
Dengan acuh aku mengusap wajahku, dan aku segera menyadari kalau tanganku basah! Aku tidak tau kalau aku berdarah sedemikian rupa. Aku langsung paham mengapa pria itu begitu terpana.
Aku panik. Karena tergesa-gesa mengusap wajahku, malah seluruh tubuhku penuh darah pada akhirnya.

Aku menatapnya dengan pasrah.

Di bola matanya yang indah ada bayanganku. Dan kemudian, matanya menyipit karena senyuman yang sangat mempesona.

Meskipun aku tidak paham mengapa dia begitu senang, melihatnya bahagia, aku juga balik tersenyum ramah memperlihatkan dua baris gigiku yang berkilau, tak menyadari kalau melakukan ini malah akan membuat tampangku makin mengerikan.

Seorang iblis yang ada didekatku, Jia, mendekat dengan cemas dan membantuku bangkit. Aku tak mau. Jia menahan nafas dan berbisik kepadku, “Sayangku Sansheng! Siapa yang coba kau takuti dengan wajah menyeramkan ini?! Taukah kau siapa ini?”

Diantara roh-roh yang ada dineraka ini, sihirku tidaklah bisa dibanggakan. Namun bila dilihat dari senioritas, semua roh bersikap hormat padaku. Mereka jarang berbicara dengan nada seperti ini. Aku menyeringai dan berbicara dengan bingung, “Tentu saja aku tidak tau siapa dia. Aku sedang bertanya kepadanya, toh?”

Little Yi menatapku dengan tampang seolah-olah dia akan muntah darah dalam waktu dekat. “Nona sayang! Ini .... surga....”  Little Yi belum selesai bicara ketika suara lembut pria itu terdengar.
“Namaku Moxi.”

Dia mengulurkan tangannya dan aku segera menyambutnya. Dia membalikkan tanganku dan menggenggam pergelangan tanganku.

Pergelangan tangan adalah titik vitalku. Pada saat ini, yang perlu dia lakukan hanyalah mengerahkan sedikit tenaganya maka aku akan mati mengenaskan. Wajah little Jia dan Little Yi yang awalnya sudah pucat semakin bertambah pucat. Jia dengan cepat memohon, “T’Tuanku! T’Tuanku! Nona Sansheng sudah hidup sangat lama disini. Neraka adalah tempat yang rendah; nona muda ini tidak tau etika yang benar. Aku mohon agar kau memaafkannya.”
“Sansheng? Itu nama yang aneh, namun menarik.”

Aku masih memandangnya. Aku tidak merasa takut karena tidak ada niat membunuh dimatanya.
Dia memerhatikanku dengan teliti, melepaskan pergelangan tanganku, dan membantu mengangkatku dengan menopang lenganku. “Sungguh luar biasa bagi sebuah batu di dunia neraka untuk memiliki jiwa. Kau tidak mengenalku, namun mengapa engkau memberikan penghormatan yang demikian kepadaku?”

Aku segera tersadar. Bukannya ketulusan yang kutunjukkan kurang pantas, namun hal yang kulakukan justru berlebihan. Dengan jujur aku memberitahunya, “Kau sangat tampah sehingga aku ingin...” Disaat yang sama aku tak menemukan kata-kata yang tepat. Dalam keadaan panik, aku memilih acak sebuah kata yang terbersit didalam dikepalaku: “Aku ingin merayumu.”
Little Jia menunjukkan wajah ‘kau tak berguna’

Dia terkekeh. “Mahkluk yang tak suka berbasa-basi.”

Aku merasa senang, berpikir bahwa kata-katanya itu pujian. “Kalau begitu, bolejkah aku merayumu?”

Dengan santai dia menjawab, “Aku datang untuk ujian takdir, jadi aku tidak akan tinggal dineraka.”

Yang dia maksud pastilah ‘tidak’. Aku menurunkan pandanganku, sedikit kecewa.

“Apakah kau selalu tinggal di tepi sungai Wangchuan?”, tanyanya tiba-tiba.

Aku mengangguk.

“Maukah kau pergi melihat-lihat dunia luar?”

Mataku membelalak; aku mengangguk kuat-kuat.

Dia tersenyum simpul dan menepuk kepalaku. “Karena aku telah menerima beberapa kowtow berdarah darimu, aku tak bisa membiarkan usahamu sia-sia. Karena kau ingin meninggalkan dunia neraka, aku akan menjanjikanmu tiga siklus kehidupan yang bebas. Tiga siklus kehidupanku juga menjadi tiga siklus kehidupanmu memperoleh kebebasan. Setelah aku kembali dari takdirku, kau juga harus dengan patuh kembali ke tepi sungai Wangchuan. Bagaimana menurutmu?”
Kedengarannya tidak ada yang merugikan. Aku mengangguk setuju.

Dia merapalkan simbol berwarna keemasan dipergelangan tanganku. “Sebagai roh, kau harus bertindak pintar. Nantinya, lindungi titik vitalmu.” Dia menambahkan, “Mereka yang lebih kuat tidak selamanya berniat baik seperti aku.”

Dua iblis, Jia dan Yi, mengerutkan wajah mereka selagi menemani pria itu pergi. Aku menyentuh simbol emas dipergelangan tanganku.

“Moxi” aku memanggilnya.

Berdiri didepan jembatan Naihe, dia memegang air pelupaan dan berbalik memandangku.
“Bisakah aku pergi ke dunia manusia untuk merayumu?”

Pertanyaanku sangat sungguh-sungguh sampai-sampai si Tua Meng tertawa terbahak-bahak saat menyendok sup lupa ingatan-nya.

Bibir pria itu juga tertarik membentuk senyuman. “Kalau kau bisa menemukanku, maka silahkan.” Setelah berkata, dia meminum supnya dalam satu tegukan.

Tanpa menoleh kembali, dia masuk kedunia bawah. Aku tetap memandangi kepergiannya, dan berat hati mengalihkan pandanganku bahkan setelah pria itu menghilang. Little Yi kembali dari jembatan Naihe dan melambaikan tangannya didepan wajahku, memanggil: “Nona Sansheng!”

‘Huh?”

“Nona Sansheng, apakah mungkin kau memiliki perasaan kepada pria itu?”

Aku menatap Yi dan bertanya serius, “Apa maksudnya memiliki perasaan?”

Yi menelengkan kepalanya berpikir. “Bagaimanapun pria dan wanita yang ditulis dalam buku yang selalu kau baca ‘memiliki perasaan’ seharusnya.”

Aku merenung beberapa saat. Di dalam buku yang sering kubaca, pria akan bertemu wanita, wanitanya akan membungkuk hormat, pria dan wanita itu akan berbincang beberapa kalimat, dan kemudian mereka akan mulai melakukan serangkaian ooh ooh ah ah yang membuat mereka tidak bisa menahan diri. Aku tidak memiliki keinginan untuk melakukan ooh ooh ah ah dengan Moxi, jadi aku yakin aku tidak memiliki perasaan terhadapnya.

Dengan yakin aku menggelengkan kepala. “Aku belum memiliki perasaan.”

Yi menghela nafas panjang dan bergumam kepada dirinya sendiri, “Itu benar, bagaimana mungkin sebuah batu punya perasaan? Aku terlalu banyak berpikir.” Seketika itu juga dia menatapku dan berkata, “Intinya adalah, lebih baik kau tidak memiliki perasaan kepadanya! Dalam dunia ini, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada kata ‘cinta’. Bukan maksudku agar nona Sansheng tidak boleh menyukai siapa pun. Semata-mata hanya karena Tuan Moxi adalah pria yang nona tidak boleh cintai.”

“Mengapa?” Dia pria paling rupawan dan gagah yang pernah aku lihat.” Aku terdiam sejenak, dan menambahkan, “Dan dia punya suara yang paling enak didengar.”

“Tepat karena semua tentangnya sangat sempurna sehingga kau tidak boleh jatuh cinta kepadanya! Tuan Moxi adalah Dewa perang dari Surga. Meskipun tak ada yang tak mungkin di dunia ini, dia hanya peduli tentang ketentraman dunia. Jika hatinya dipenuhi permasalahan manusia biasa, apakah ada ruang tersisa untuk cinta?”

Apakah Moxi punya ruang tersisa untuk cinta dalam hatinya tak begitu menjadi masalah buatku, namun kalimat pertama Yi membuatku terhenyak. “Bagaimana bisa dia menjadi Dewa perang? Dia jelas sekali sangat baik hati.”

Yi hampir saja memuntahkan darah. “Baik hati? Kau tidak percaya itu ... kan?”

Ketika dia melihaku mengangguk, Yi menggelengkan kepalanyan dan berkata dengan putus asa, “Ketika klan Iblis menyerang surga dengan 100,000 prajurit yang perkasa, Tuan Moxi hanya membawa 30,000 pasukan dan membabat habis semua pasukan iblis. Setelah itu, dia membawa pasukannya turun ke ibukota dunia iblis dan membunuh semua klan iblis; darah mengalir seperti sungai ketika itu. Dalam beberapa dekade, tidak sepatah katapun terucap dari kaum iblis. Itu karena kaum iblis yang lebih usianya lebih dari tiga tahun telah dibinasakan.”

Aku mengingat sedikit tentang kejadian itu. Ketika itu, dunia bawah menjadi sangat penuh sesak. Suata ratapan hampir saja meruntuhkan istana Aku mengingat sedikit tentang kejadian itu. Ketika itu, dunia bawah menjadi sangat penuh sesak. Suata ratapan hampir saja meruntuhkan istana Yanwang; jembatan Naihe hampir saja rubuh karena diinjak-injak. Meskipun kaum iblis ini katanya sudah dibunuh oleh Moxi, perang nyatanya adalah tentang membunuh dan bertahan hidup. Moxi sebagai dewa perang berkewajiban untuk menyerang dan menekan pemberontakan. Kesetiaannya terletak apda kaumnya. Kekerasan adalah hal alami dalam pertempuran.

Aku menepuk bahu Yi. “Terimakasih sudah menceritakan semuanya padaku. Aku mau pulang untuk mengepak barang-barang yang akan aku bawa,”

Yi nampak bingung. “Nona, kau mau kemana?”

Aku menyeringai. “Aku mau ke dunia manusia untuk merayu Moxi.”


----------------------------------------------------------------------------------------------------------------






No comments:

Post a Comment

Death Exist Not at the River of Oblivion - Chapter 10

Chapter 10: Sulit sekali mencintaimu di kehidupan kali ini Aku tak melihat sosok Zhonghua lagi sejak hari itu. Kelihatannya dia benar-be...