Sansheng, Death Exist Not at the River of Oblivion
By Jiu Lu Fei
Xiang
English
Translation by hamster428.wordpress.com
Bahasa
Translation by morningbreezeinqingshui.blogspot.com
Chapter 1
I’m going to the
human world to seduce him (Aku akan turun ke bumi untuk merayunya)
Tidak tau sejak kapan, orang-orang yang melintasi sungai
pelupaan (1) mulai menyebutku Batu Tiga Kehidupan (2). Setelahnya, orang-orang
mulai mengacuhkanku, beberapa pasang kekasih datang dan mengukir kisah romantis
mereka ditubuhku, dan ada juga yang meratap didepanku.
1. 1. Sungai pelupaan disebut Wangchuan dalam bahasa mitologi Cina. Dalam
mitologi Yunani disebut Lethe.
2. 2.. Dia disebut Batu Sansheng karena kata
Sansheng bermakna ‘tiga kehidupan’. ‘Tiga kehidupan’ dalam konteks agama Budha
bermakna kehidupan yang telah lalu, saat ini dan masa depan.
Begitupun, aku cuma sebuah batu ditepi sungai Wangchuan. Aku
tak memahami arti kebahagiaan ataupun kesedihan.
Aku tergeletak pasrah ditepi sungai Wangchuan selama seribu
tahun sampai suatu hari nanti aku akhirnya bisa memiliki jiwa.
Semua mahkluk hidup akan mengalami ujian takdir, namun
berabad lamanya aku tetap aman disini tak tersentuh sampai ....
Ujian cintaku datang.
Seorang pendeta dengan jenggot panjang berwarna putih
yang melintas sungai Wangchuan membacakan ramalanku. Dia meramalkan tentang
ujianku dengan mengangguk-anggukkan kepalanya.
Aku menganggap dia cuma membual.
Aku ini hanya roh yang lahir dari sebuah batu; jiwaku
terbuat dari batu dan hatiku juga batu. Hatiku sudah lama membeku oleh
kegelapan yang menyelimuti sungai Wangchuan.
Tidak akan ada penderitaan karena juga tidak ada cinta. Kalau
hatiku saja tidak pernah berdesir, maka dari mana pula ujian cinta ini akan
datang?
Atau begitulah yang aku pikirkan.
Namun hal-hal mengejutkan bisa saja terjadi.
Di suatu siang yang sendu di alam bawah, tepat
sekembalinya aku dari kebiasaanku berkeliling ditepi sungai Wangchuan. Aku memandang
ke atas. Tak sengaja, seolah sinar matahari menembus tebalnya kabut, menyinari
segerombolan bunga amaryllies kuning
dan membuat suasana sekitar menjadi gemerlapan.
Seorang pria yang berwibawa datang mendekat.
Aku tiba-tiba teringat perkataan seorang perempuan yang
dulu pernah melintas, bertahun-tahun lalu : “Sungguh pria yang gagah, sangat
terhormat, sangat beradab.” (3)
3. 3. Peribahasa yang menggambarkan karakter
pria yang beradab seperti gading, diambil dari The book of songs, Odes of Wei.
Sudah bertahun-tahun, hati batuku jarang sekali tersentuh.
Perlahan pria itu mendekat, tentu saja bukan untuk
mendatangiku, namun karena dibelakangku terbentang jembatan Naihe yang harus dilewati bila seseorang
mau menuju ke alam bawah. Bukan hal mudah berpapasan dengan seseorang serupawan
ini, jadi aku pikir pertemuan ini mestinya berkesan.
Aku melangkah mendekat dan menyapanya: “Tuan.”
Mungkin bagus bila aku membungkukkan badan sebagai tanda
hormat seperti yang biasanya wanita baik-baik lakukan, aku pernah membacanya di
dalam buku. Namun buku itu hanya menyebut ‘membungkuk hormat’. Tidak ada
deskripsi yang jelas bagaimana sikap yang benar untuk melakukannya.
Aku menimbang beberapa saat, dan selanjutnya aku meniru
gerakan Yanwang (penguasa neraka) dan
berlutut tergesa-gesa sampai menimbulkan suara thud, menghantukkan kepalaku ke tanah tiga kali (kowtow), dan berkata ,”Siapakah nama
Tuanku?”
Pria itu menarik
nafas sangat dalam. Dia berdiri dan nampak ada rasa terkejut dimatanya. Untuk
beberapa saat dia tidak menjawab.
Setiap tujuan harus dilakukan dengan tulus, sama seperti
keyakinan para prajurit hitam dan putih: “Ketulusan menghasilkan kesuksesan.” Kata-kata
ini yang selalu mereka ucapkan agar semua jiwa manusia patuh mengikuti perintah
mereka.
Mendengar tidak ada jawaban dari pria itu, aku berpikir
mungkin aku kurang kuat menghantukkan kepala sehingga ia menganggapku kurang
tulus. Aku merangkak, tidak menahan diri kali ini, dan menghantukkan kepalaku
lebih keras tiga kali lagi.
Kelihatannya kowtow-ku
kali ini benar-benar kuat sehingga bumi seolah bergetar. Pria itu terkejut dan
nampak sedikit takut.
Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan wajah yang
bercucuran darah. “Siapa nama Tuanku?”
Mungkin pemandangan wajahku yang penuh darah membuatnya
takut. Dia tetap diam.
Dengan acuh aku mengusap wajahku, dan aku segera
menyadari kalau tanganku basah! Aku tidak tau kalau aku berdarah sedemikian
rupa. Aku langsung paham mengapa pria itu begitu terpana.
Aku panik. Karena tergesa-gesa mengusap wajahku, malah
seluruh tubuhku penuh darah pada akhirnya.
Aku menatapnya dengan pasrah.
Di bola matanya yang indah ada bayanganku. Dan kemudian,
matanya menyipit karena senyuman yang sangat mempesona.
Meskipun aku tidak paham mengapa dia begitu senang,
melihatnya bahagia, aku juga balik tersenyum ramah memperlihatkan dua baris
gigiku yang berkilau, tak menyadari kalau melakukan ini malah akan membuat
tampangku makin mengerikan.
Seorang iblis yang ada didekatku, Jia, mendekat dengan
cemas dan membantuku bangkit. Aku tak mau. Jia menahan nafas dan berbisik
kepadku, “Sayangku Sansheng! Siapa yang coba kau takuti dengan wajah
menyeramkan ini?! Taukah kau siapa ini?”
Diantara roh-roh yang ada dineraka ini, sihirku tidaklah
bisa dibanggakan. Namun bila dilihat dari senioritas, semua roh bersikap hormat
padaku. Mereka jarang berbicara dengan nada seperti ini. Aku menyeringai dan
berbicara dengan bingung, “Tentu saja aku tidak tau siapa dia. Aku sedang
bertanya kepadanya, toh?”
Little Yi
menatapku dengan tampang seolah-olah dia akan muntah darah dalam waktu dekat. “Nona
sayang! Ini .... surga....” Little Yi belum selesai bicara ketika
suara lembut pria itu terdengar.
“Namaku Moxi.”
Dia mengulurkan tangannya dan aku segera menyambutnya. Dia
membalikkan tanganku dan menggenggam pergelangan tanganku.
Pergelangan tangan adalah titik vitalku. Pada saat ini,
yang perlu dia lakukan hanyalah mengerahkan sedikit tenaganya maka aku akan
mati mengenaskan. Wajah little Jia
dan Little Yi yang awalnya sudah
pucat semakin bertambah pucat. Jia dengan cepat memohon, “T’Tuanku! T’Tuanku!
Nona Sansheng sudah hidup sangat lama disini. Neraka adalah tempat yang rendah;
nona muda ini tidak tau etika yang benar. Aku mohon agar kau memaafkannya.”
“Sansheng? Itu nama yang aneh, namun menarik.”
Aku masih memandangnya. Aku tidak merasa takut karena
tidak ada niat membunuh dimatanya.
Dia memerhatikanku dengan teliti, melepaskan pergelangan
tanganku, dan membantu mengangkatku dengan menopang lenganku. “Sungguh luar
biasa bagi sebuah batu di dunia neraka untuk memiliki jiwa. Kau tidak
mengenalku, namun mengapa engkau memberikan penghormatan yang demikian
kepadaku?”
Aku segera tersadar. Bukannya ketulusan yang kutunjukkan
kurang pantas, namun hal yang kulakukan justru berlebihan. Dengan jujur aku
memberitahunya, “Kau sangat tampah sehingga aku ingin...” Disaat yang sama aku
tak menemukan kata-kata yang tepat. Dalam keadaan panik, aku memilih acak
sebuah kata yang terbersit didalam dikepalaku: “Aku ingin merayumu.”
Little Jia menunjukkan
wajah ‘kau tak berguna’
Dia terkekeh. “Mahkluk yang tak suka berbasa-basi.”
Aku merasa senang, berpikir bahwa kata-katanya itu
pujian. “Kalau begitu, bolejkah aku merayumu?”
Dengan santai dia menjawab, “Aku datang untuk ujian
takdir, jadi aku tidak akan tinggal dineraka.”
Yang dia maksud pastilah ‘tidak’. Aku menurunkan
pandanganku, sedikit kecewa.
“Apakah kau selalu tinggal di tepi sungai Wangchuan?”,
tanyanya tiba-tiba.
Aku mengangguk.
“Maukah kau pergi melihat-lihat dunia luar?”
Mataku membelalak; aku mengangguk kuat-kuat.
Dia tersenyum simpul dan menepuk kepalaku. “Karena aku
telah menerima beberapa kowtow
berdarah darimu, aku tak bisa membiarkan usahamu sia-sia. Karena kau ingin
meninggalkan dunia neraka, aku akan menjanjikanmu tiga siklus kehidupan yang
bebas. Tiga siklus kehidupanku juga menjadi tiga siklus kehidupanmu memperoleh
kebebasan. Setelah aku kembali dari takdirku, kau juga harus dengan patuh
kembali ke tepi sungai Wangchuan. Bagaimana menurutmu?”
Kedengarannya tidak ada yang merugikan. Aku mengangguk
setuju.
Dia merapalkan simbol berwarna keemasan dipergelangan
tanganku. “Sebagai roh, kau harus bertindak pintar. Nantinya, lindungi titik
vitalmu.” Dia menambahkan, “Mereka yang lebih kuat tidak selamanya berniat baik
seperti aku.”
Dua iblis, Jia dan Yi, mengerutkan wajah mereka selagi
menemani pria itu pergi. Aku menyentuh simbol emas dipergelangan tanganku.
“Moxi” aku memanggilnya.
Berdiri didepan jembatan Naihe, dia memegang air pelupaan dan berbalik memandangku.
“Bisakah aku pergi ke dunia manusia untuk merayumu?”
Pertanyaanku sangat sungguh-sungguh sampai-sampai si Tua
Meng tertawa terbahak-bahak saat menyendok sup lupa ingatan-nya.
Bibir pria itu juga tertarik membentuk senyuman. “Kalau
kau bisa menemukanku, maka silahkan.” Setelah berkata, dia meminum supnya dalam
satu tegukan.
Tanpa menoleh kembali, dia masuk kedunia bawah. Aku tetap
memandangi kepergiannya, dan berat hati mengalihkan pandanganku bahkan setelah
pria itu menghilang. Little Yi
kembali dari jembatan Naihe dan
melambaikan tangannya didepan wajahku, memanggil: “Nona Sansheng!”
‘Huh?”
“Nona Sansheng, apakah mungkin kau memiliki perasaan
kepada pria itu?”
Aku menatap Yi dan bertanya serius, “Apa maksudnya
memiliki perasaan?”
Yi menelengkan kepalanya berpikir. “Bagaimanapun pria dan
wanita yang ditulis dalam buku yang selalu kau baca ‘memiliki perasaan’
seharusnya.”
Aku merenung beberapa saat. Di dalam buku yang sering
kubaca, pria akan bertemu wanita, wanitanya akan membungkuk hormat, pria dan
wanita itu akan berbincang beberapa kalimat, dan kemudian mereka akan mulai
melakukan serangkaian ooh ooh ah ah
yang membuat mereka tidak bisa menahan diri. Aku tidak memiliki keinginan untuk
melakukan ooh ooh ah ah dengan Moxi,
jadi aku yakin aku tidak memiliki perasaan terhadapnya.
Dengan yakin aku menggelengkan kepala. “Aku belum
memiliki perasaan.”
Yi menghela nafas panjang dan bergumam kepada dirinya
sendiri, “Itu benar, bagaimana mungkin sebuah batu punya perasaan? Aku terlalu
banyak berpikir.” Seketika itu juga dia menatapku dan berkata, “Intinya adalah,
lebih baik kau tidak memiliki perasaan kepadanya! Dalam dunia ini, tidak ada
yang lebih menyakitkan daripada kata ‘cinta’. Bukan maksudku agar nona Sansheng
tidak boleh menyukai siapa pun. Semata-mata hanya karena Tuan Moxi adalah pria
yang nona tidak boleh cintai.”
“Mengapa?” Dia pria paling rupawan dan gagah yang pernah
aku lihat.” Aku terdiam sejenak, dan menambahkan, “Dan dia punya suara yang
paling enak didengar.”
“Tepat karena semua tentangnya sangat sempurna sehingga
kau tidak boleh jatuh cinta kepadanya! Tuan Moxi adalah Dewa perang dari Surga.
Meskipun tak ada yang tak mungkin di dunia ini, dia hanya peduli tentang
ketentraman dunia. Jika hatinya dipenuhi permasalahan manusia biasa, apakah ada
ruang tersisa untuk cinta?”
Apakah Moxi punya ruang tersisa untuk cinta dalam hatinya
tak begitu menjadi masalah buatku, namun kalimat pertama Yi membuatku
terhenyak. “Bagaimana bisa dia menjadi Dewa perang? Dia jelas sekali sangat
baik hati.”
Yi hampir saja memuntahkan darah. “Baik hati? Kau tidak
percaya itu ... kan?”
Ketika dia melihaku mengangguk, Yi menggelengkan
kepalanyan dan berkata dengan putus asa, “Ketika klan Iblis menyerang surga
dengan 100,000 prajurit yang perkasa, Tuan Moxi hanya membawa 30,000 pasukan
dan membabat habis semua pasukan iblis. Setelah itu, dia membawa pasukannya
turun ke ibukota dunia iblis dan membunuh semua klan iblis; darah mengalir
seperti sungai ketika itu. Dalam beberapa dekade, tidak sepatah katapun terucap
dari kaum iblis. Itu karena kaum iblis yang lebih usianya lebih dari tiga tahun
telah dibinasakan.”
Aku mengingat sedikit tentang kejadian itu. Ketika itu,
dunia bawah menjadi sangat penuh sesak. Suata ratapan hampir saja meruntuhkan
istana Aku mengingat sedikit tentang kejadian itu. Ketika itu, dunia bawah
menjadi sangat penuh sesak. Suata ratapan hampir saja meruntuhkan istana Yanwang; jembatan Naihe hampir saja rubuh karena diinjak-injak.
Meskipun kaum iblis ini katanya sudah dibunuh oleh Moxi, perang nyatanya adalah
tentang membunuh dan bertahan hidup. Moxi sebagai dewa perang berkewajiban
untuk menyerang dan menekan pemberontakan. Kesetiaannya terletak apda kaumnya. Kekerasan
adalah hal alami dalam pertempuran.
Aku menepuk bahu Yi. “Terimakasih sudah menceritakan
semuanya padaku. Aku mau pulang untuk mengepak barang-barang yang akan aku
bawa,”
Yi nampak bingung. “Nona, kau mau kemana?”
Aku menyeringai. “Aku mau ke dunia manusia untuk merayu
Moxi.”
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment